
Dengan cukup terang,
Jared Diamond berupaya menjelaskan bagaimana penyakit-penyakit menular terjadi
di berbagai belahan dunia. Penyebabnya tidak lain karena kuman. Argumentasi
yang coba disampaikan di antaranya, bahwa cara paling tidak repot bagi kuman
untuk menyebar yaitu dengan menunggu saja sampai kuman ditularkan secara pasif
ke korban berikutnya.
Pada situasi seperti
ini, kuman ibarat “tongkat kecil” yang digunakan pada lomba lari estafet.
Tongkat ini dibawa oleh orang satu dan diberikan kepada orang yang lain.
Bedanya, tongkat kali ini tidak terlihat dan sulit dideteksi siapa yang
membawanya. Semakin banyak orang yang “lari” dan “saling menyentuh”, membuat
peluang “tongkat” ini berada di tangan siapa saja. Parahnya, ada jejak kuman
yang ditinggalkan. Jejak ini yang kemudian dilacak oleh petugas medis. Mereka
pun berpotensi tertular.
Kita diperhadapkan
dengan situasi yang serba salah. Itulah resiko penyakit menular. Menurut Jared
Diamond, ada 4 (empat) ciri utamanya. Pertama,
penyebaran penyakit sangat cepat dari satu orang ke orang lain. Kedua, dari sisi waktu, dalam waktu
singkat seseorang bisa saja sembuh atau meninggal. Ketiga, bagi yang berhasil sembuh menghasilkan antibodi. Keempat, penyakit itu cenderung terbatas
pada manusia, mikroba penyebab penyakit cenderung tidak hidup pada hewan. Poin
pertama mempertegas istilah “Penyakit Kerumunan” yang digunakan Jared Diamond.
Lantas, apa yang bisa
kita pelajari soal “penyakit kerumunan” dan kondisi dunia saat ini? Jawabannya,
bukankah belakangan, kerumunanan dan keramaian menjadi persoalan. Dari sisi
linguistik, saya tidak mumpuni menjelaskan apa yang beda antara kerumunan dan
keramaian. Hanya saja saya percaya, kedua kata ini bisa terjadi setiap saat dan
tidak sekedar gejala fisik, penyebabnya pun tidak tunggal.
Bentuk-bentuk keramaian
bisa kita daftar satu per satu. Perkara tempat, keramaian bisa terjadi di mana
saja. Bahkan, membatasi keramaian dengan
cara-cara yang ramai akan menciptakan
keramaian tambahan.Tidak jarang, dalam kegiatan yang melibatkan orang banyak,
keramaian harus bersandar pada urusan administrasi, itu mengapa kita mengenal
surat izin keramaian.
Di media sosial, kita
sering merasakan “keramaian virtual”. Banyak konten ditampilkan lewat “status”,
entah emosi kekecewaan, aspirasi, saling sindir bahkan serangan lintas
kelompok. Banyak kejadian yang direkam. Singkatnya media sosial menjadi saluran
berekspresi. Karakter setiap orang
terkadang bisa dilihat dari cara-caranya menanggapi keramaian di media sosial.
Tapi apakah keramaian
itu salah? Keadaan menentukan jawaban. Di satu sisi keramaian bisa membawa
keuntungan namun di kondisi tertentu justru menyebabkan kecelakaan. Terbukti,
saat ini beberapa tempat yang bisa mengundang orang banyak ditutup. Semangat
berkumpul, dengan kepentingan-kepentingan beragam harus ditahan. Cara ini
dipercaya mampu mengatasi krisis pandemi, meski dengan cara ini pula belakangan
muncul krisis yang lain.
Kedilemaan hadir, bagi
banyak orang ini tidak mudah, apalagi harus terjadi dalam jangka waktu yang
lama. Kita dituntut beradaptasi dengan keadaan. Potensi konflik di perbatasan,
setiap saat bisa terjadi. Aspirasi masyarakat/mahasiswa yang tidak didengarkan,
penyaluran bantuan tidak tepat sasaran akan menciptakan keramaian yang lain.
Setidaknya, ini yang
terjadi selama pandemi. Keramaian coba dikelola meski pada tahap pelaksanaan
tidak selamanya utuh. Faktor kesadaran bersama hingga di tingkat yang lebih
kecil (desa/dusun/keluarga) menentukan sukses pengelolaan keramaian. Tapi tetap
saja kebutuhan-kebutuhan mendesak membuat sebagian orang terpaksa melanggar.
Polemik terbaru, ada
dua momen yang sering dibanding-bandingkan bahkan dibenturkan. Keduanya punya
niat baik namun memperoleh respon berbeda-beda. Pertama, konser yang
diselenggarakan mengatasnamakan “amal” dan berhasil memicu keramaian. Kedua,
keputusan pemerintah meniadakan sholat idul fitri berjamaah di masjid/lapangan.
Pendek kata, mengelola keramaian bisa menimbulkan protes yang beramai-ramai.
Silang pendapat itu wajar. Semoga krisis ini cepat berakhir!!!
Penulis:Moh. Rezki Daud*
*Kader FKMM Gorontalo