MENGELOLA KERAMAIAN

Iklan Semua Halaman

Iklan

MENGELOLA KERAMAIAN

FKMM Gorontalo
Senin, 25 Mei 2020

Penyakit kerumunan. Istilah itu menarik. Profesor Geografi di University of California, Los Angeles, Jared Diamond dalam salah satu karyanya “Guns, Germs & Steel: Rangkuman Riwayat Masyarakat Manusia” (KPG, 2020), menggunakan istilah ini dengan merujuk pada jenis penyakit dengan daya tular yang tinggi. Menurutnya, penyakit menular akan lebih mudah berkembang di daerah dengan tingkat populasi manusia yang banyak (kerumunan).

Dengan cukup terang, Jared Diamond berupaya menjelaskan bagaimana penyakit-penyakit menular terjadi di berbagai belahan dunia. Penyebabnya tidak lain karena kuman. Argumentasi yang coba disampaikan di antaranya, bahwa cara paling tidak repot bagi kuman untuk menyebar yaitu dengan menunggu saja sampai kuman ditularkan secara pasif ke korban berikutnya.

Pada situasi seperti ini, kuman ibarat “tongkat kecil” yang digunakan pada lomba lari estafet. Tongkat ini dibawa oleh orang satu dan diberikan kepada orang yang lain. Bedanya, tongkat kali ini tidak terlihat dan sulit dideteksi siapa yang membawanya. Semakin banyak orang yang “lari” dan “saling menyentuh”, membuat peluang “tongkat” ini berada di tangan siapa saja. Parahnya, ada jejak kuman yang ditinggalkan. Jejak ini yang kemudian dilacak oleh petugas medis. Mereka pun berpotensi tertular.

Kita diperhadapkan dengan situasi yang serba salah. Itulah resiko penyakit menular. Menurut Jared Diamond, ada 4 (empat) ciri utamanya. Pertama, penyebaran penyakit sangat cepat dari satu orang ke orang lain. Kedua, dari sisi waktu, dalam waktu singkat seseorang bisa saja sembuh atau meninggal. Ketiga, bagi yang berhasil sembuh menghasilkan antibodi. Keempat, penyakit itu cenderung terbatas pada manusia, mikroba penyebab penyakit cenderung tidak hidup pada hewan. Poin pertama mempertegas istilah “Penyakit Kerumunan” yang digunakan Jared Diamond.

Lantas, apa yang bisa kita pelajari soal “penyakit kerumunan” dan kondisi dunia saat ini? Jawabannya, bukankah belakangan, kerumunanan dan keramaian menjadi persoalan. Dari sisi linguistik, saya tidak mumpuni menjelaskan apa yang beda antara kerumunan dan keramaian. Hanya saja saya percaya, kedua kata ini bisa terjadi setiap saat dan tidak sekedar gejala fisik, penyebabnya pun tidak tunggal.

Bentuk-bentuk keramaian bisa kita daftar satu per satu. Perkara tempat, keramaian bisa terjadi di mana saja.  Bahkan, membatasi keramaian dengan cara-cara yang ramai akan  menciptakan keramaian tambahan.Tidak jarang, dalam kegiatan yang melibatkan orang banyak, keramaian harus bersandar pada urusan administrasi, itu mengapa kita mengenal surat izin keramaian.

Di media sosial, kita sering merasakan “keramaian virtual”. Banyak konten ditampilkan lewat “status”, entah emosi kekecewaan, aspirasi, saling sindir bahkan serangan lintas kelompok. Banyak kejadian yang direkam. Singkatnya media sosial menjadi saluran berekspresi.  Karakter setiap orang terkadang bisa dilihat dari cara-caranya menanggapi keramaian di media sosial.

Tapi apakah keramaian itu salah? Keadaan menentukan jawaban. Di satu sisi keramaian bisa membawa keuntungan namun di kondisi tertentu justru menyebabkan kecelakaan. Terbukti, saat ini beberapa tempat yang bisa mengundang orang banyak ditutup. Semangat berkumpul, dengan kepentingan-kepentingan beragam harus ditahan. Cara ini dipercaya mampu mengatasi krisis pandemi, meski dengan cara ini pula belakangan muncul krisis yang lain.

Kedilemaan hadir, bagi banyak orang ini tidak mudah, apalagi harus terjadi dalam jangka waktu yang lama. Kita dituntut beradaptasi dengan keadaan. Potensi konflik di perbatasan, setiap saat bisa terjadi. Aspirasi masyarakat/mahasiswa yang tidak didengarkan, penyaluran bantuan tidak tepat sasaran akan menciptakan keramaian yang lain.

Setidaknya, ini yang terjadi selama pandemi. Keramaian coba dikelola meski pada tahap pelaksanaan tidak selamanya utuh. Faktor kesadaran bersama hingga di tingkat yang lebih kecil (desa/dusun/keluarga) menentukan sukses pengelolaan keramaian. Tapi tetap saja kebutuhan-kebutuhan mendesak membuat sebagian orang terpaksa melanggar.

Polemik terbaru, ada dua momen yang sering dibanding-bandingkan bahkan dibenturkan. Keduanya punya niat baik namun memperoleh respon berbeda-beda. Pertama, konser yang diselenggarakan mengatasnamakan “amal” dan berhasil memicu keramaian. Kedua, keputusan pemerintah meniadakan sholat idul fitri berjamaah di masjid/lapangan. Pendek kata, mengelola keramaian bisa menimbulkan protes yang beramai-ramai. Silang pendapat itu wajar. Semoga krisis ini cepat berakhir!!!



Penulis:Moh. Rezki Daud*
*Kader FKMM Gorontalo