![]() |
Dilema Sarjana
Oleh : Rasid Yunus
|
Artikel singkat ini dipersembahkan untuk
para wisudawan-wisudawati Universitas Negeri Gorontalo tahun 2020, khususnya
mereka-mereka yang telah menamatkan studinya baik tingkat D3 (Diploma Tiga )
maupun S1 (Sarjana). Lebih khusus para sarjana Fakultas Ilmu Sosial (FIS-UNG).
Semoga bermanfaat.
Setiap orang yang melanjutkan pendidikan
ke perguruan tinggi, pasti yang dipikirkan adalah kapan selesai, tanpa
mengabaikan proses yang mengikutinya. Pertanyaan itu selalu membayangi setiap
aktivitas mahasiswa serta konsekuensinya.
Berdasarkan kerja keras dan kerja cerdas maka waktu yang dinanti tiba pula,
yakni menyandang gelar sebagaimana yang dicita-citakan.
Tetapi bukan berarti dengan gelar itu
urusan selesai begitu saja. Pertanyaannya adalah apa urgensi gelar terhadap
kebermanfaatan kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara
sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap gelar yang diperoleh.
Bayangan kata “Sarjana Pengangguran”
memang sering kali menyinggung dan menyakitkan. Lazimnya kata itu tidak perlu
ditanggapi secara reaktif, sebab boleh jadi kata itu akan menyakitkan bila
didiamkan tanpa direspon positif dan produktif. Kata ini memang sedemikian
populer sampai ke daerah-daerah (desa-desa), setidaknya begitulah amatan
penulis ketika berkunjung ke desa-desa.
Masalah “Sarjana Pengangguran” merupakan
masalah yang kompleks baik dari segi definisinya maupun dari segi sinergitas
antara perguruan tinggi yang memproduksi para sarjana dengan realitas dan
lapangan pekerjaan. Hal ini dianggap memberi andil terhadap hadirnya kata yang
mengerikan tersebut. Hanya saja tidak boleh langsung menghakimi salah satu
pihak, karena sesuai amatan penulis paling tidak di program studi tempat
penulis bekerja, selama tiga tahun terakhir
banyak lulusan yang terserap di lapangan kerja, baik pegawai negeri,
karyawan BUMN, BUMD, BUMS, terlibat dalam ranah politik praktis, bekerja di
kantor desa, pendamping desa, bahkan beberapa alumni dipercaya sebagai kepala
desa. Akan tetapi, harus diakui pula bahwa perguruan tinggi masih memiliki
kelemahan terutama kesiapan dan kesesuaian terhadap pesatnya perkembangan.
Dunia kerja memang merupakan masalah
ekonomi, hanya saja banyaknya kesempatan serta penyiapan tenaga kerja tidak
hanya berkaitan dengan ekonomi, tetapi terkait pula dengan masalah penduduk,
masalah sosial dan juga masalah hukum. Selain itu, dunia kerja juga merupakan
masalah ideologi, masalah sikap, dan pandangan dari manusia-manusia yang
dipersiapkan untuk keberlangsungan hidup bangsa. Dengan demikian, selain
rekonstruksi sistem pendidikan, rekosntruksi pemahaman dan pengetahuan serta
penyediaan lapangan pekerjaan, pembaruan pandangan mengenai definsi kerja
merupakan satu keharusan di kalangan para sarjana dan masyarakat kita.
Suatu perguruan tinggi menurut Harsja W.
Bachtiar sebenarnya dapat menghasilkan : (1) anggota baru bagi profesi-profesi
tertentu, seperti dokter, pengacara, konsultan, petani, pedagang, dan lain-lain; (2)
peneliti, yang mempunyai kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan lebih lanjut
terutama dalam bidang pengetahuan yang dimilikinya; (3) dosen atau guru, yang
mempunyai kemampuan untuk mendidik, mempersiapkan anak-anak untuk menjadi ahli dalam
bidangnya; (4) orang terpelajar, yaitu mereka yang tidak berusaha untuk bekerja
dalam bidang keahlian yang terbatas, melainkan hendak memanfaatkan keluasan
wawasan pikiran dan pengetahuan yang diperoleh diperguruan tinggi untuk
berperan sebagai tokoh masyarakat dalam kepemimpinan politik, agama, ekonomi,
kebudayaan, atau bidang-bidang lain yang menuntut pandangan yang luas.
Jika jalan pikiran Harsja W. Bachtiar
ini diterima, maka pengangguran atau merasa menganggur sebenarnya tidak perlu
dirisaukan, dan pulang kampung setelah sarjana tentu tidaklah masalah. Ini
merupakan konsekuensi dari kesarjanaan yang bertanggung jawab pada pengembangan
masyarakat. Karena sarjana itu sesungguhnya manusia tanpa pengangguran.