Sejak pasca
reformasi 1998-1999, Negara menyadari satu hal bahwa, penerapan demokrasi yang
bersifat top down selama rezim otoritarian yang bersumber dari
sentral actor tidak membawa efek bagi
pendewasaan politik di aras lokal, hak-hak politik masyarakat lokal difasung dan
dibuat skenario sedemikian rupa untuk mengakomodir kepentingan pusat. Sumber
kuasa dari yang dikuasi berbentuk dinasti kekuasan Soeharto membawa efek
negatif bagi dinamika politik nasional maupun lokal. Formulasi baru yang
ditawarkan melalui penguatan demokrasi Indonesia adalah bangunan demokrasi
layaknya berlandaskan pada aspek lokalitas yang bersifat multi aktor atau
pembelajaran demokrasi harus mulai dari lokalitas sesuai dengan ciri entitas.
Level inilah Negara kemudian mengilhami bahwa saatnya penerapan demokrasi harus
bersifat batten up dan berlandaskan
pada kekuasaan multi aktor.
Sejatinya demokrasi secara substansial adalah kemaslahatan orang banyak, Negara harus menyediakan ruang ruang public bagi arena kontestasi demokrasi lokal. Pertanyaan yang muncul adalah apakah ekspektasi ruang pubik dalam narasi demokrasi lokal telah membuka ruang bagi masyarakat lokal? Jawabanya adalah TIDAK. Studi megenai hal tersebut bisa dilacak pasca refromasi ketika itu banyak pakar yang menunjukan keyakinanya akan pendefenisan tentang ke-Iindonesia-an pada konteks pelabelan Negara. Salah satu fenomena menarik yang bisa disikapi adalah gejala Shadow State baik dalam level open maupun colsed mencirikan pola politik pasca reformasi. Studi awal yang ditulis oleh Syarif Hidayat (2006) melihat bagaimana cengkeraman dinasti Tuan Guru di Provinsi Banten yang mengisi hampir semua ruang pubik di Provinsi Banten, mulai dari gubernur, Bupati, Wali Kota, Wakil Bupati dan Wakil Walikota adalah berasal dari keluarga Tuan Guru. Bacaan hal tersebut jika dibanding dengan era Gorontalo Pasca Reformasi ditandai dengan adanya closed shadow state melalui Gubernur Fadel Muhammad dan kekuatan diluar formal Negara yakni DPD Provinsi Gorontalo mampu mendominasi seluruh kebijakan di provinsi Gorontalo termasuk jagung.
Dinasti politik
dalam kesederhaan pemahaman merupakan pola kekuasaan yang bersifat oligarki.
Dalam narasi demokrasi, oligarki sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Nyatanya, praktik demokrasi kita tidak terlepas dari oligarki kekuasaan.
Fenomena tersebut dalam skala politik lokal Indonesia secara keseluruhan adalah
bagian yang tidak terpisahkan pada setiap perhelatan demokrasi lokal kita. Jika
dirunut fenomena kekinian Gorontalo merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan
pada konteks Gorontalo pasca reformasi. Diera kepemimpina Fadel Muhammad,
Istrinya sebagai anggota DPD RI bersamaan dengan Istri Bupati Gorontalo David
Bobihoe dan istri Bupati Boalemo Almarhum Iwan Bokings.
Pasca Fadel,
fenomena yang sangat luar biasa bagi arena kontestasi politik lokal adalah
kehadiran kelompok keluarga tertentu yang menghiasi bursa pencalolan wakil
kepala daerah di provinsi Gorontalo. Dinamika pada era ini seperti dinamika
yang terjadi di provinsi Banten ala Tuan Guru. Menariknya, politik lokal
Gorontalo kontemporer pada Pamilu 2019 hingga menyongsong Pilkada serentak di
Kabupaten Pohuwato, Gorontalo dan Bone Bolango lebih memperkuat dinasti politik
lokal. Gubernur Rusli Habibi mampu mengantarkan Istrinya sebagai anggota
DPR-RI, istri dan anak Darwis Moridu terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten
Boalemo serta Istri Hamim Pau sebagai anggota DPRD Provinasi. Fenomena manarik lainnya yang dapat dilihat
adalah arena kontestasi di Kabupaten Pohuwato, dimana peserta kontestan hampir
secara keseluruhan berasal dari keluarga yang sama, (Istri, Kaka, Adik dan
Ipar) memperebutkan kursi nomor satu di kabupaten Pohuwato. Di Kabupaten Bone Bolango
isu yang menguat sekarang dikalangan public adalah anak Gubrenur akan ikut
sebagai peserta kontestan pada arena kontestasi demokrasi lokal.
Fakta tersebut
tidak serta merta adanya pengkaliman dinasti disatu pihak, namun perlu saya
tegaskan bahwa tergantung dari perspektif yang mana kita mengamati atas objek
yang diuji secara teoritis. Permasalahan kita adalah agenda procedural
demokrasi. Artinya fakta menunjukan adanya oligarki, namun dilain sisi prinsip “one man one vote” menjastifikasi
prinsip procedural demokrasi, dalam artian selama yang bersangkutan dipilih
oleh rakyat maka konteks dinasti politik dalam demokrasi lokal merupakan bagian
dari kewajaran demokrasi. Selagi tidak menyalahi prosedur demokrasi, dalam
asmumsi sederhana di dukung oleh partai maupun calon independen dan dipilih maka
itulah demokrasi.
Namun demikian, konteks
kontestasi demokrasi dipahami sebagai ruang public, maka dapat digambarkan bahwa ruang public di Gorontalo hanya di
kuasai oleh segelintir orang, ruang public yang sudah dibatasi oleh elit-elit
tertentu dan tidak ada akses bagi golongan lain untuk menikmati sumber daya
kekuasaan yang dimiliki. Jika dicermati lebih mendalam ruang public adalah
milik public dan tidak ada batasan bagi masyarakat untuk mengaksesnya. (Hanna
Arendt, 1958) mengatakan Ruang publik adalah ruang kebebasan politik dan
kesamaan. Ia tercipta apabila warga negara bertindak bersama dalam koordinasi
melalui wicara dan persuasi.