Dinasti politik dalam pusaran demokrasi lokal Gorontalo Kontemporer

Iklan Semua Halaman

Iklan

Dinasti politik dalam pusaran demokrasi lokal Gorontalo Kontemporer

FKMM Gorontalo
Kamis, 27 Februari 2020
Oleh
Ramli Mahmud

Sejak pasca reformasi 1998-1999, Negara menyadari satu hal bahwa, penerapan demokrasi yang bersifat top down  selama rezim otoritarian yang bersumber dari sentral actor  tidak membawa efek bagi pendewasaan politik di aras lokal, hak-hak politik masyarakat lokal difasung dan dibuat skenario sedemikian rupa untuk mengakomodir kepentingan pusat. Sumber kuasa dari yang dikuasi berbentuk dinasti kekuasan Soeharto membawa efek negatif bagi dinamika politik nasional maupun lokal. Formulasi baru yang ditawarkan melalui penguatan demokrasi Indonesia adalah bangunan demokrasi layaknya berlandaskan pada aspek lokalitas yang bersifat multi aktor atau pembelajaran demokrasi harus mulai dari lokalitas sesuai dengan ciri entitas. Level inilah Negara kemudian mengilhami bahwa saatnya penerapan demokrasi harus bersifat batten up dan berlandaskan pada kekuasaan multi aktor.

Sejatinya demokrasi secara substansial adalah kemaslahatan orang banyak, Negara harus menyediakan ruang ruang public bagi arena kontestasi demokrasi lokal. Pertanyaan yang muncul adalah apakah ekspektasi ruang pubik dalam narasi demokrasi lokal telah membuka ruang bagi masyarakat lokal? Jawabanya adalah TIDAK. Studi megenai hal tersebut bisa dilacak pasca refromasi ketika itu banyak pakar yang menunjukan keyakinanya akan pendefenisan tentang ke-Iindonesia-an pada konteks pelabelan Negara. Salah satu fenomena menarik yang bisa disikapi adalah gejala Shadow State baik dalam level open maupun colsed mencirikan pola politik pasca reformasi. Studi awal yang ditulis oleh Syarif Hidayat (2006) melihat bagaimana cengkeraman dinasti Tuan Guru di Provinsi Banten yang mengisi hampir semua ruang pubik di Provinsi Banten, mulai dari gubernur, Bupati, Wali Kota, Wakil Bupati dan Wakil Walikota adalah berasal dari keluarga Tuan Guru. Bacaan hal tersebut jika dibanding dengan era Gorontalo Pasca Reformasi ditandai dengan adanya closed shadow state melalui Gubernur Fadel Muhammad dan kekuatan diluar formal Negara yakni  DPD  Provinsi Gorontalo mampu mendominasi seluruh kebijakan di provinsi Gorontalo termasuk jagung.  

Dinasti politik dalam kesederhaan pemahaman merupakan pola kekuasaan yang bersifat oligarki. Dalam narasi demokrasi, oligarki sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi. Nyatanya, praktik demokrasi kita tidak terlepas dari oligarki kekuasaan. Fenomena tersebut dalam skala politik lokal Indonesia secara keseluruhan adalah bagian yang tidak terpisahkan pada setiap perhelatan demokrasi lokal kita. Jika dirunut fenomena kekinian Gorontalo merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan pada konteks Gorontalo pasca reformasi. Diera kepemimpina Fadel Muhammad, Istrinya sebagai anggota DPD RI bersamaan dengan Istri Bupati Gorontalo David Bobihoe dan istri Bupati Boalemo Almarhum Iwan Bokings.

Pasca Fadel, fenomena yang sangat luar biasa bagi arena kontestasi politik lokal adalah kehadiran kelompok keluarga tertentu yang menghiasi bursa pencalolan wakil kepala daerah di provinsi Gorontalo. Dinamika pada era ini seperti dinamika yang terjadi di provinsi Banten ala Tuan Guru. Menariknya, politik lokal Gorontalo kontemporer pada Pamilu 2019 hingga menyongsong Pilkada serentak di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo dan Bone Bolango lebih memperkuat dinasti politik lokal. Gubernur Rusli Habibi mampu mengantarkan Istrinya sebagai anggota DPR-RI, istri dan anak Darwis Moridu terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Boalemo serta Istri Hamim Pau sebagai anggota DPRD Provinasi.  Fenomena manarik lainnya yang dapat dilihat adalah arena kontestasi di Kabupaten Pohuwato, dimana peserta kontestan hampir secara keseluruhan berasal dari keluarga yang sama, (Istri, Kaka, Adik dan Ipar) memperebutkan kursi nomor satu di kabupaten Pohuwato. Di Kabupaten Bone Bolango isu yang menguat sekarang dikalangan public adalah anak Gubrenur akan ikut sebagai peserta kontestan pada arena kontestasi demokrasi lokal.

Fakta tersebut tidak serta merta adanya pengkaliman dinasti disatu pihak, namun perlu saya tegaskan bahwa tergantung dari perspektif yang mana kita mengamati atas objek yang diuji secara teoritis. Permasalahan kita adalah agenda procedural demokrasi. Artinya fakta menunjukan adanya oligarki, namun dilain sisi prinsip “one man one vote” menjastifikasi prinsip procedural demokrasi, dalam artian selama yang bersangkutan dipilih oleh rakyat maka konteks dinasti politik dalam demokrasi lokal merupakan bagian dari kewajaran demokrasi. Selagi tidak menyalahi prosedur demokrasi, dalam asmumsi sederhana di dukung oleh partai maupun calon independen dan dipilih maka itulah demokrasi.

Namun demikian, konteks kontestasi demokrasi dipahami sebagai ruang public, maka dapat digambarkan  bahwa ruang public di Gorontalo hanya di kuasai oleh segelintir orang, ruang public yang sudah dibatasi oleh elit-elit tertentu dan tidak ada akses bagi golongan lain untuk menikmati sumber daya kekuasaan yang dimiliki. Jika dicermati lebih mendalam ruang public adalah milik public dan tidak ada batasan bagi masyarakat untuk mengaksesnya. (Hanna Arendt, 1958) mengatakan Ruang publik adalah ruang kebebasan politik dan kesamaan. Ia tercipta apabila warga negara bertindak bersama dalam koordinasi melalui wicara dan persuasi.