Alangkah Lucunya Negeri Ini
Oleh: Achmad Husein Hasni
Pada saat kita mencari tahu makna dan hakikat suatu jati diri, sebenarnya kita sedang berusaha untuk menjadikan diri kita menjadi pribadi yang dapat menjalani kehidupan secara baik. Di satu sisi, nilai-nilai kebijaksanaan merupakan suatu pencapaian jati diri yang sangat urgent dalam mengimplementasikan suatu kebajikan social. Setiap hari kita selalu mengamati suatu fenomena social yang sifatnya aneh dan bias untuk diterjemahkan sebagai suatu nilai kebenaran. Akan tetapi, semua itu selalu saja tertutupi pada nilai-nilai normative yang dibangun untuk membentuk suatu keteraturan masyarakat sebagaimana yang ingin dicapai oleh semua orang. Namun, tidak banyak kita melihat suatu perdebatan-perdebatan klasik yang malah tidak memperlihatkan nilai-nilai kebenaan didalamnya. Semua menjadi sulit, ikhtiar untuk membangun masyarakat yang madani menjadi suatu khayalan tingkat tinggi yang terus-menerus menyelimuti bangsa ini. Bagaikan suatu permainan digital, tidak selalu keahlian dapat berbicara banyak untuk bisa memenangkan suatu pertandingan. Akan tetapi, teknik-teknik pengelabuan yang cukup licik juga dapat menjadikan keahlian harus bertekuk lutut dihadapannya.
Bagaikan rumah atau tempat tinggal yang kita huni. Kita ingin mendapatkan kenyamanan serta ketentraman dalam menjalani hidup di tempat tinggal itu. Seluruh kepunyaan akan dihabiskan untuk mendatangkan ketentraman dan kesejahteraan pada tempat tinggal yang kita huni. Cuma yang menjadi persoalan, apakah kita telah memiliki ruang yang cukup terbuka untuk menghadirkan ketentraman itu?, jawabannya mungkin hanya ada pada setiap individu yang menjalankan kehidupan pada rumahnya masing-masing. Hanya saja tampaknya kita harus mencoba berpikir secara lebih terbuka mengenai rumah yang dimaksudkan pada kalimat di atas. Penulis mencoba untuk menginterpretasi rumah itu sebagai suatu negeri. Tempat yang menyimpan berbagai macam kekayaan alam yang menjadikan makhluk hidup yang tinggal di tempat itu dapat menjalani kehidupan secara normal.
Indonesia adalah suatu negeri yang secara geografis berada di benua asia. Negara ini juga selalu menjadi primadona pada setiap wisatawan manca negara yang datang berkunjung di Indonesia. Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sangatlah banyak. Maka tidak heran, Indonesia merupakan negeri yang sangat di incar oleh para penjajah dari benua eropa. Tentu kita sebagai bangsa Indonesia memiliki pengetahuan sejarah yang mendasar tentang penjajahan yang masuk di Indonesia. Salah satu misi mereka yaitu mengambil kekayaan alam khusunya rempah-rempah untuk menghidupi pasukan mereka dan sebagai bahan dasar untuk pembuatan produk-produk yang dapat meningkatkan ekonomi negara penjajah. Di satu sisi, jika kita mengamati letak geografis negara Indonesia, negeri ini berada tepat di sepanjang garis khatulistiwa yang mengakibatkan negeri ini hanya memiliki dua musim, yaitu musim panas dan musim dingin. Juga karena hal ini pula Indonesia dijuluki sebagai “Zamrud Khatulistiwa”. Cukup banyak julukan yang disematkan pada negeri ini. Dari hal tersebut, kita dapat membuktikan bahwa banyak keistimewaan yang ada pada negeri yang kita cintai ini. Semestinya, bangsa Indonesia bisa mendapatkan kesejahteraan secara komprehensif dari kekayaan dan keistimewaan yang ada. Tetapi, fenomena social yang terjadi saat ini menjadi pengejawentahan dari bahasa serta retorika kesejahteraan. Dimana, banyak sekali ketimpangan yang melanda negeri ini, sehingga perlu upaya khusus untuk memenuhi seluruh aspek kehidupan masyarakat demi terciptanya kesejahteraan sebagaimana yang di cita-citakan.
Penulis ingin sedikit mengulas dan menceritrakan terkait fenomena social yang menurut penulis cukup disayangkan tapi juga cukup lucu untuk diperbincangkan. Sering sekali kita melihat petugas atau aparat negara dalam hal ini Satpol PP melakukan razia kepada para pedagang kaki lima yang sedang berjualan di trotoar jalan raya. Mereka melakukan pemusnahan dan penagkapan kepada para pedagang tersebut untuk dapat meninggalkan tempat jualan mereka. Di satu sisi, menurut saya para pedagang kaki lima tidak bersalah pada aspek ikhtiar untuk mencari keuntunagn ekonomi, karena mereka beralasan bahwa mereka akan dapat penghasilan yang cukup dari tempat mereka berjualan, dan dengan itu mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup dan keluarga mereka. Akan tetapi, di satu sisi, pada aspek normative, mereka (aparat Satpol PP) menjalankan apa yang telah menjadi ketentuan mereka sebagai petugas negara. Di satu sisi, memang kita bisa menyimpulkan bahwa itu dapat mengganggu hak pejalan kaki, tapi di sisi yang lain, mereka para pedagang kaki lima hanya ingin mencari nafkah untuk kebutuhan hidup mereka dan pada aspek ekonomi itu jelas tidak bertentangan. Di satu sis, pemerintah telah menyediakan tempat untuk mereka melakakuakn aktivitas jual beli, akan tetapi mereka merasa hal ini tidak cukup dan malah menurunkan kualitas serta kuantitas penjualan mereka, sehingga dapat mempengaruhi aspek kebutuhan ekonomi para pedagang kaki lima. Maka timbul pertanyaan. Bukankah hukum hadir untuk mencapai keadilan pada masyarakat?. Sejatinya tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak. Hanya saja, suatu masyarakat mempunyai cirri dan kualitas yang berbeda-beda untuk mempertahankan hidup dan kehidupan.
Sedikit penulis masuk pada dimensi politik. Indonesia juga negeri yang secara aspek politiknya menggunakan system politik demokrasi. Dengan indoktrinasi kebebasan dan persamaan serta aspek kekuatan mayoritas, para the founding father yakin bahwa Indonesia akan mengalami kejayaan selepas perjuangan heroic yang dilakukan oleh mereka untuk merebut kedaulatan negara. Demokrasi selalu menjadi bahasa halus yang dipakai oleh apara politisi dalam meyakinkan masyarakat akan pentingnya partisipasi politik. Hal ini coba dikemas sedemikian rupa dengan system trias politika untuk membentuk suatu keberimbangan dalam menjalankan fungsi pemerintahan (check and balances). Akan tetapi pada praktiknya, system politik yang dibangun masih saja bermasalah terlebih pada aspek individualitas yang ada di dalamnya. Contoh, terkait dengan system pemilihan anggota legislative. Kita menyadari bahwa system yang dipakai yaitu system proporsional, dimana jumlah anggota dewan yang duduk diparlemen sesuai dengan proporsi jumlah penduduk yang ada pada satu daerah administratif pemilihan. System ini dipakai untuk memperlebar ruang demokrasi yang dinilai cocok diterapakan karena melihat kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk. Akan tetapi di sisi lain, system ini mengakibatkan timbulnya jumlah partai politik yang besar, sehingga menjadikan Indonesia manganut asas system multi partai, tentu ini cukup mengganggu stabilitas politik yang ada, karena pengambilan keputusan harus sesuai dengan keinginan masing-masing kelompok. Akan sulit untuk bisa memperjuangkan kebijakan yang ingin dicapai, karena partai politik harus melakukan segala cara untuk bisa memperoleh jumlah kursi terbanyak di parlemen, sehingga berpotensi menjadikan esensi dari politik itu terdegradasi pada aspek partai politik. Selanjutnya, sebenarnya ada cara dan jalan untuk menciptakan efisiensi anggaran negara pada badan legislative. Jika kita mencoba untuk menerapkan system distrik, maka negara akan lebih sedikit mengeluarkan anggaran untuk badan legislative karena jumlah anggota yang ada di dalamnya tidak begitu banyak (sesuai jumlah distrik yang ada). Begitupun dengan jumlah partai politik. Maka,negara sepertinya bisa memperkecil jumlah hutangnya dan dapat melakukan penambahan anggaran pada aspek pembangunan lainnya, baik pada sisi pembangunan fisik maupun pembangunan manusia.
Sesungguhnya masih banyak perdebatan-perdebatan yang terjadi terkait masalah pemerataan kehidupan dan pembangunan negara untuk meningkatkan mutu kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pada dasarnya sesuatu yang bersifat esensial dapat dikalahkan oleh sesuau yang bersifat normative. Sehingganya masyarakat Indonesia harus terus-menerus berupaya untuk dapat meningkatkan kualitas kehidupannya secara berkesinambungan demi terciptanya kesejahteraan hakiki pada kehidupan. Sejatinya, negara ini telah banyak memberikan hal terbaik pada bangsanya. Hanya saja, masih banyak masyrakat yang enggan untuk berikhtiar demi mendapatkan suatu kualitas hidup yang ingin dicapainya. Kita harus menjadi manusia yang senantiasa berani dalam mengambil keputusan. Karena negeri ini tidak dapat memberikan sesuatu yang kita inginkan kecuali kita sendiri yang mengupayakannya. Kesimpulan sederhana yang bisa saya petik dari ceritra di atas, bahwa terkadang konflik itu terjadi bukan karena satu salah dan satunya lagi benar. Akan tetapi, konflik itu terjadi karena kedua-duanya mempertahankan kebenaran individu demi memenuhi kepentingan yang ingin di raih.