FKMM, Civil Society dan Pembangunan
Beretika
a. Sekelumit tentang FKMM
Forum Komunikasi Mahasiswa Muslim (FKMM) merupakan organ ekstra
mahasiswa yang berada di wilayah regional sulawesi. Organ ini menampung seluruh
mahasiswa yang memiliki bakat untuk mengembangkan kreativitas-pengetahuan baik
pengetahuan faktual, konseptual, prosedural maupun mengembangkan pengetahuan
metakognisi. FKMM memiliki tipologi yang berbeda dengan organisasi lain, hal
ini nampak pada fleksibilitas kader dan
alumni. Setiap kader dan alumni bebas beraktivitas diorganisasi mana pun, yang
penting setiap aktivitas yang dijalankan berimplikasi kebaikan pada orang
banyak.
FKMM beranggapan bahwa apapun organ yang digeluti pasti yang diinginkan
adalah pengembangan bakat dan menjalankan kebaikan. Oleh karena itu, FKMM tidak
memberi batasan kepada kader dan alumninya untuk beraktivitas dimanapun. FKMM
merupakan wadah yang sifatnya forum yang memfasilitasi ide-ide progresif untuk
menuju perubahan sebuah daerah maupun perubahan bangsa dan negara Indonesia.
Selain itu, ada tradisi pengetahuan yang menarik di FKMM, yakni pola
pikir yang dibentuk yakni berpikir skala global tetapi bertindak lokal. Dalam
bahasa lain FKMM memberi keleluasaan kepada kader dan alumninya untuk memperdalam
asupan pengetahuan global terutama
relasi kuasa-global, kepentingan politik global, tetapi dalam prakteknya
mempertimbangkan kondisi lokal (Local Wisdom). Sebab legitimasi kuasa global
bisa tercapai dan diterapkan di negara dan daerah manakala daerah memungkinkan
untuk mendukung agenda global tersbut. Oleh karena itu, diperlukan kematangan
pikiran untuk kondisi lokal. Pada sisi itu FKMM mengambil peran terutama dalam
wacana pengetahuannya.
Tentang
organisasi kepemudaan, penulis teringat dengan lahirnya organisasi kepemudaan
zaman dahulu, sebut saja dalam periode kebangkitan nasional dan pergerakan
nasional lahirnya organisasi Budi Utomo yang didirikan oleh dr Wahidin
Sudirohusodo tahun 1908, kemudian tahun 1911 lahirlah Serekat Islam (SI) oleh
Haji Oemar Said Cokroaminoto atau yang biasa dikenal H.O.S Cokroaminoto dan
tahun 1913 lahir pula organisasi Indsche Partij oleh Duwes Dekker dkk. Lahirnya
organisasi perjuangan ini sebagai respon dari pemuda-pemudi Indonesia terhadap
hegemoni yang dilakukan penjajah baik penjajahan secara politik,
pemerintahan dan ekonomi Indonesia. Organisasi ini pula sebagai wadah untuk
menyatukan semangat kolektifitas pemuda Indonesia menyusun perlawan taktis
terhadap penjajah.
Jika kita
mempelajari bagaimana lahirnya organisasi kepemudaan di zaman sebelum dan
sesudah kemerdekaan kurang lebih semangatnya hampir sama dengan semangat yang
timbul dari mahasiswa dan alumni FKMM. Tinggal yang menjadi soal adalah konsistensi dalam
menjalankan semangat yang terjewantahkan lewat nilai-nilai kebaikan. Tentunya
nilai-nilai kebaikan tersebut diperoleh dari proses dialektika pengetahuan
sehingga melahirkan kesadaran kritis maupun kesadaran transformatif.
Kesadaran kritis harapannya adalah pemuda yang tergabung dalam FKMM memahami sistem dan struktur
yang menjadi sumber masalah. Selama ini kita kadang melihat masalah hanya dari satu
kacamata berpikir saja. Sebagai contoh ketika kita melihat pengemis dan pencuri
terkadang yang digunakan hanyalah pendekatan kriminologi. Padahal kita lupa jika
ditanya pasti mereka tidak menghendaki
pekerjaan itu. Tapi karena keadaanlah membuat mereka melakukan hal tersebut.
Berarti ada yang keliru dalam program penuntasan kemiskinan oleh pemerintah. Maka dalam konteks ini, masyarakat
harus dididik untuk menemukan keterkaitan antar setiap sistem, menemukan
celanya, lalu berusaha membangun ruang baru yang lebih mengembangkan potensi
masyarakat. Kesadaran ini akan berusaha menghapuskan ketidakadilan dalam sistem. Jika sistem yang berlaku
adil, tentunya tidak akan ditemukan permasalahan berarti di dalam masyarakat. Sistem yang baik akan
menggiring masyarakat ke arah yang lebih baik, dan begitu pula seharusnya.
Dengan demikian, masyarakat harus dididik dalam pola yang dialogis untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan. Bukan kita yang justru menambah beban masalah
masyarakat, bangsa bahkan negara.
Kesadaran transformatif harapannya adalah pemuda
yang tergabung dalam FKMM memiliki
konsistensi dalam memperjuangkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Karena
hakikat dari kesadaran transformatif yaitu “Kesadarannya
Kesadaran” yang berarti seseorang bukan hanya memiliki kesadaran kritis
yang mampu memetakan sumber masalah di masyarakat dan mampu mencari solusi
namun lebih dari itu. Dimana seorang pemuda yang konsisten antara pikiran,
ucapan, dan perbuatan.
Organ ini pula diharapkan dapat memberikan ruang kepada anak-anak muda
khususnya mereka-mereka yang berstatus kader aktif maupun alumni untuk mengembangkan ide yang konstruktif
demi membentengi dan menggawangi organ ini dari kekurangan pasokan pengetahuan
dan kesadaran baik kesadaran kritis
maupun kesadaran transformatif. Hal ini penting agar anak-anak muda yang
lahir dari FKMM menjadi anak muda yang matang akan ide, analisis, dan solutif terhadap problem kemasyarakatan.
b. Antara FKMM dan Tradisi
Civil Society
Menyoal FKMM sebagai
bagian dari tradisi civil society merupakan kajian yang menarik, Karena FKMM diletakan
pada bagian dari gerakan dan indikator masyarakat yang demokratis. Hanya saja
apakah gerakan FKMM benar-benar
gerakan murni civil society yang memiliki tujuan untuk kemaslahatan orang
banyak dengan pola dan sistem demokrasi atau malah sebaliknya. Salah satu ciri
negara demokratis adalah memelihara dan menjamin terbentuknya masyarakat yang
kuat dan terorganisir lewat gerakan civil society. Melalui civil society warga
negara dibiasakan menjadi kelompok dan kekuatan tersendiri untuk mengamati
perjalanan sebuah bangsa termasuk pembangunan baik yang berskala lokal maupun
nasional. Tradisi civil society juga menjamin hak-hak rakyat untuk
berpartisipasi baik secara formal maupun secara informal dalam proses
pembangunan demokrasi.
Civil society
sendiri menurut para ahli sangat beragam. Sebut saja civil society yang
diartikulasikan oleh Alexis de Toqueville berdasarkan pengalamannya pada
Amerika Serikat dimana civil society sangat menekankan pada masyakarat
horizontal. Maksudnya masyarakat horozontal di sini adalah dalam
mereaktualisasikan ide dan gagasan yang tergabung dalam organisasi
kemasyarakatan tidak terjebak pada latar belakang individu melainkan seberapa
dalam isi dan makna dari ide dan gagasan tersebut serta seberapa pengaruhnya
terhadap perkembangan organisasi dan masyarakat pada umumnya. Selain itu,
Nurcholish Madjid lebih menekankan bahwa civil society lebih diletakan pada
aspek budaya. Konsep civil society dalam level ini adalah civility (keberadaban) dan fraternity
(persaudaraan). Ciri lainnya antara lain adanya trust (kepercayaan) di antara kelompok-kelompok sosial, toleransi,
dan dijunjung tingginya HAM, akuntabilitas, serta keterikatan pada hukum (Baca; Sukron Kamil “Pemikiran Politik
Islam Tematik” agama dan negara,
demokrasi, civil society, syariah dan HAM, fundamentalisme, dan antikorupsi:
2013:130).
Kemudian
Afan Gafar mengemukakan bahwa civil society merupakan space atau ruang yang terletak diantara negara di satu pihak dan
masyarakat di pihak lain, hal yang sama disampaikan oleh Walker bahwa dalam
ruang tersebut terdapat asosiasi warga masyarakat yang bersifat sukarela yang
hubungannya dikembangkan atas dasar toleransi dan saling menghargai satu sama
lain (Baca; Sukron Kamil “Pemikiran
Politik Islam Tematik” agama dan negara,
demokrasi, civil society, syariah dan HAM, fundamentalisme, dan antikorupsi:
2013:131).
Selanjutnya,
Helmut Anheirer menguraikan konsep indeks civil society. Indeks ini terdiri
dari indikator untuk mengukur civil society yang biasa juga disebut dengan
pilar-pilar civil society. Adapun pilar-pilar civil society antara lain
organisasi sosial politik, organisasi kemasyarakatan, organisasi kepemudaan,
lembaga penelitian, lembaga pendidikan terutama pendidikan tinggi, lembaga
peradilan, LSM, organisasi buruh, media massa dan cetak, organisasi komunitas
(Paguyuban), serta organisasi pemberdayaan wanita. Adapun indeks civil society meliputi:
(1) struktur dengan subdimensi
keanggotaan, partisipasi, distribusi, komposisi, dan sumber daya; (2) ruang dengan subdimensi hukum dan peraturan,
jaringan ke pemerintah dan bisnis serta norma sosial; (3) nilai dengan
subdimensi toleransi, HAM, kesetaraan jenjang, tranparansi-akuntabilitas serta
peran stakeholder; (4) dampak dengan
subdimensi kebijakan publik dan pemantauan pemerintah, responsif, serta
efektifitas organisasi (Baca; Sukron
Kamil “Pemikiran Politik Islam Tematik” agama
dan negara, demokrasi, civil society, syariah dan HAM, fundamentalisme, dan
antikorupsi: 2013:132).
Dalam
pengertian dan indikator gerakan civil society di atas, mari kita sejanak
berkontemplasi seiring dengan hadirnya FKMM. Secara
faktual eksistensi FKMM merupakan
bagian dari tradisi dan gerakan civil society. Tapi secara akademik yang lebih mengedepankan
nilai, mungkin saja FKMM masih
perlu untuk berbenah. Mengapa? Menurut penulis masih banyak hal-hal yang harus
dibenahi diantarannya dari segi penataan organisasi, administrasi organisasi,
penguatan pengetahuan anggota organisasi, kegiatan yang sifatnya permanen bukan
kegiatan insidental atau tiba saat tiba akal, memperbanyak diskusi yang
produktif, mewadahi kajian dalam bentuk riset mini atau riset formal, serta merumuskan
secara komprehensif tujuan FKMM. Mudah-mudahan
dengan beberapa cara tersebut dan mungkin saja masih ada cara-cara lain baik
dari pembaca yang budiman maupun para senior serta sesepuh, akan
menjadikan organ ini bukan hanya organ yang mampu mencetak generasi yang
memiliki kesadaran kritis, tapi
mampu pula memiliki dan mengaktualisasikan kesadaran transformatif sebagai
bentuk pertanggung jawaban terhadap
nilai dan kebenaran dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
c. Antara FKMM dan Pembangunan Beretika
Pada akhir
paparan ini penulis menyuguhkan bahasan yang secara tersurat mungkin asing bagi
pembaca, tapi secara tersirat bahasan ini sering disampaikan oleh banyak orang
dan mungkin saja oleh pembaca yang budiman. Alasan penulis memaparkan sub
bahasan ini karena sangat relevan dengan aktivitas sebagian alumni FKMM selama
ini. Semoga konsep ini menjadi referensi kita semua.
Berbicara
tentang pembangunan beretika berarti berbicara mengenai posisi manusia sebagai
pelaku pembangunan. Posisi manusia dalam proses pembangunan merupakan hal yang
sangat penting. Jika pembangunan gagal maka yang menjadi soal adalah manusia
sebagai pelaku pembangunan. Karena kualitas pembangunan tergantung pada
kualitas manusia. Kualitas yang dimaksudkan yakni manusia yang mendepankan
pembangunan infrastruktur yang tidak boleh berdiri sendiri karena bisa
mengakibatkan penyalagunaan manfaat. Misalnya pembangunan gedung seharusnya
digunakan untuk masyarakat menuntut ilmu dalam bentuk sekolah tetapi ternyata
untuk klub malam, bahkan menjadi tempat perzinahan.
Atas nama
pembangunan terkadang pemerintah menggunakan tindakan yang represif untuk
menggusur pedagang kecil yang berada pada konon katanya tanah milik pemerintah
tanpa proses negosiasi yang humanis. Para pengemis atas nama ketertiban
diperlakukan dengan tidak manusiawi dengan cara mengejar, mengamankan bahkan
menangkap tanpa solusi yang serius dari pemerintah, bahkan tidak jarang
kekurangan dan kemiskinan rakyat menjadi komoditas politik para elit. Liat
saja pada saat kampanye-kampanye menuju kursi kekuasaan baik kekuasaan
eksekutif maupun legislatif,
dengan modal komunikasi yang mengeksploitasi isu kemiskinan, akhirnya
si calon tadi memperoleh kursi kekuasaan tapi sikap dan tindakan
selanjutnya tidak konsisten dengan muatan dan janji kampanye sebelumnya.
Olehnya, diharapkan
pemuda yang tergabung dalam FKMM
maupun alumni menjadi pelopor perubahan
dan menghindari cara-cara lama yang bergelut dengan pembangunan yang tidak
beretika. Pembangunan beretika merupakan kebutuhan masyarakat. Pembangunan
beretika mereduksi katakutan rakyat kecil terhadap ancaman kehidupan yang
buruk. Pembangunan
beretika membangkitkan semangat kaum rakyat kecil untuk melanjutkan
kehidupannya kearah yang lebih maju dan baik.
Pembangunan
beretika menginginkan rakyat menjadi tuan di negerinya sendiri, sebab pembangunan
beretika merupakan akumulasi semangat yang timbul dari “Gerakan-Sejarah”, “Gerakan-Kebudayaan”,
dan “Semangat-Religius” bangsa sendiri
untuk berbenah dan membangun tanpa terlalu berharap pada negara lain.
Singkatnya, pembangunan beretika sangat menjaga produk pembangunan yang
berorientasi pada keseimbangan lingkungan sosial-kemasyarakatan dan lingkungan alam.
Sebab jika pembangunan tidak menjaga keseimbangan sosial-kemasyarakatan akan
memperlebar kesenjangan antara yang kaya dan si miskin, dan tanpa
menjaga keseimbangan lingkungan alam akan menyebabkan kerusakan alam yang
berkelanjutan serta tidak
memungkinkan adanya pewarisan kesejahteraan bagi generasi selanjutnya.
Untuk itu,
harapan besar bagi setiap
anggota FKMM
dan alumni yang sedang menggeluti urusan-urusan pembangunan baik di
tingkat eksekutif maupun legislatif agar menjadi aktor pembangunan yang
mengedapankan pembangunan beretika. Tentu hal ini harus dimaknai dalam konteks
pengabdian yang didasari oleh keikhlasan dan ketulusan serta sudah selesai
dengan urusan diri sendiri.
Oleh: Rasid Yunus