MAHASISWA DAN KETIDAKPASTIANYA DIATAS BIAYA PENDIDIKAN YANG SEMAKIN TINGGI

Iklan Semua Halaman

Iklan

MAHASISWA DAN KETIDAKPASTIANYA DIATAS BIAYA PENDIDIKAN YANG SEMAKIN TINGGI

FKMM Gorontalo
Senin, 02 Maret 2020


Sangat menarik ketika kita mengkaji atas dilema mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya di bangku perguruan tinggi,  harap-harap mendapatkan perkerjaan ketika menyelesaikan studinya alhasil malah berbalik terbalik dengan realita yang sebenarnya. Banyak pemuda yang bermipi dan menaruh harapan besar di bangku pendidian tinggi, sebelum masuk kesitu atas cita-citanya tidak tercapai puluhan  ribu pelajar kita bermimpi memasuki dunia perguruan tinggi sebagai mahasiswa. Tapi di yang sama tercatat pulah ribuan orang  di nyatakan tidak lulus atau yang memang tidak mau atau mampu mengecap pindidikan tinggi.
Dalam perkara pendidikan, kaum muda kita sesalu di selimuti ketidak pastian, di tengah-tengah beragam kesempatan dan pilihan. Di mata mereka masa depan sangat terasa  sebagai sesuatu yang harus di bayar mahal, meski ada beasiswa dari pemerintah deerah maupun negara tetapi tak semua bisa lolos menikmati fasilitas itu. Akibatnya, banyak di antara mereka yang terjegal aspirasi masa depannya lantaran uang,akses,dan fasilitas. Kita patut bangga kepada mereka yang berhasil lolos menerobos kebuntuan ekonomi dan penghalang lainya ( universitas /jurusan pilihan, jarak tempat tinggal, daya dukung keluarga, dst) demi beroleh pendidikan tinggi.
Lembaga pemeringkat perguruan tinggi Quacquarelli Symonds (QS) pada pekan lalu merilis laporan QS Graduate Employability Rankings 2020. Laporan tersebut menyusun peringkat 500 universitas di dunia berdasarkan persentase lulusan yang berhasil mendapatkan pekerjaan.
Menariknya, menurut Direktur Riset QS Ben Sowter, tidak ada hubungan yang jelas antara prestise sebuah universitas dengan kemampuan lulusannya mendapatkan pekerjaan. Contohnya di Indonesia, Universitas Bina Nusantara yang menempati posisi papan bawah (801-1000) dalam QS World University Rankings justru mendapat skor dan peringkat employability yang sejajar dengan Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung yang menduduki posisi papan atas dalam QS World University Rankings.
Terlepas dari pro-kontra metode analisis yang digunakan oleh QS, analisis Ben Sowter tersebut kiranya dapat menjadi peringatan bagi semua perguruan tinggi di Tanah Air untuk tidak melupakan nasib lulusannya di tengah semangat kompetisi antar perguruan tinggi untuk menaikkan prestise di tingkat nasional maupun internasional. 
Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Prof Intan Ahmad mengatakan ratusan ribu lulusan perguruan tinggi yang mengganggur setiap tahunnya. "Jumlah lulusan perguruan tinggi setiap tahunnya mencapai satu juta jiwa, yang menganggur ada ratusan ribu," hal ini menujukan ketidak singkronan antara pemerintah dan perguruan tinggi, sehingga adanya ketidak pastian lapangan pekerjaan bagi lulusan perguruan tinggi. Akreditasi perguruan tinggi mampu menjamin lapangan pekerjaan bagi mahasiswa dari lulusan perguruan tinggi yang menyandang akreditas baik.
Sehinggan hal ini menjadi masalah crusial untuk sebagian besar mahasiwa yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Mengapa demikian, ini semua di sebabkan oleh ketidak singkronan pemerintah yang meyediakan lapangan pekerjaan dan lembaga perguruan tinggi yang menghasilkan sumber daya manusia yang siap pakai untuk dunia kerja.
Apa yang seharusnya terjadi? Mahasiswa di Universitas sebenarnya memproseskan dirinya agar bisa menyiapakan dan mencapai sebuah tingkat kematangan tertentu dalam kerja-kerja saintifik (sebagai saejana) dan peran sosialnya (sebagai warga negara dan dunia). Namun patut disesali ketika banya sarjana yang telah menyelesaikan studinya namun lapangan pekerjaan kurang mendukung atau tidak memadai. Di lansir dari Badan pusat Statistik ( BPS )  per agustus 2019, jumblah penganguran lulusan universitas mencapai 5,67 persen dari total angkatan kerja sekitar 13 juta orang. Meski presentasinya turun di bandingkan angustus 2018 yang 5,89 persen angkanya di atas rata-rata penganguran nasional yang besar 5,28 persen.
Berdasarkan data di atas, kita ketahui bersama bahwa keadaan pemerintah saat ini sedang mengahadapi beberapa persoalan kemasyarakatan salah satunya adalah tingginya angka penganguran terdidik. Sebagaimana di ketahui dari data tingkat penganguran terbuka (TPT) lulusan Universitas pendidikan S1 hingga S3 mencapai 737.000 orang. Diperkirakan angka penganguran tersebut akan terus bertambah seiring banyaknya lulusan Universitas pada tahun ini maupun tahun-tahun mendatang. Hal ini tentunya menjadi sebuah catatan penting bagi pemerintah untuk penanganan  masalah penganguran yang tak kunjung usai di negeri ini.
Aturan perguruan tinggi terhadap biaya perkulian yang melambung tinggi yang di bebankan kepada mahasiswa, namun tidak dapat menjamin sebagai lulusan perguruan tinggi untuk mendapatkan kepastian atas  ruang pekerjaan sesuai dengan bidang ilmu masing-masing. Sehingga hal ini menjadi tanda tanya besar kemana arah lulusan perguruan tinggi dengan beberapa permasalahan lapangan pekerjaan yang tak kunjung mendapat solusi. Dengan kata lain banyak pertanyaan yang kemudian timbul di benak para mahasiswa siapa kah yang salah atas ketidak pastian ini apakah sistem perguruan tinggi atau pemerintah yang tidak memperhatikan masalah lapangan kerja terhadap lulusan perguruan tinggi.

Untuk itu perlu adanya korelasi antara sistem perguruan tinggi dengan sistem pemerintahan untuk sama-sama memperhatikan hal ini. Karena hal-hal demikian mejadi catatan penting bagi pemerintah terhadap hasil lulusan perguruan tinggi. Dengan biaya pendidikan yang tinggi seharusnya mampu memberikan timbal balik dengan jaminan pekerjaan sebagaiman para mahasiswa harapkan.


Penulis : Ikra Paulus
Mahasiswa jurusan PPKN FIS-UNG
Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ( PMII )
Aktivis Forum Komunikasi Mahasiswa Muslim ( FKMM)