Sangat
menarik ketika kita mengkaji atas dilema mahasiswa yang telah menyelesaikan
studinya di bangku perguruan tinggi,
harap-harap mendapatkan perkerjaan ketika menyelesaikan studinya alhasil
malah berbalik terbalik dengan realita yang sebenarnya. Banyak pemuda yang bermipi
dan menaruh harapan besar di bangku pendidian tinggi, sebelum masuk kesitu atas
cita-citanya tidak tercapai puluhan ribu
pelajar kita bermimpi memasuki dunia perguruan tinggi sebagai mahasiswa. Tapi
di yang sama tercatat pulah ribuan orang
di nyatakan tidak lulus atau yang memang tidak mau atau mampu mengecap
pindidikan tinggi.
Dalam
perkara pendidikan, kaum muda kita sesalu di selimuti ketidak pastian, di
tengah-tengah beragam kesempatan dan pilihan. Di mata mereka masa depan sangat
terasa sebagai sesuatu yang harus di
bayar mahal, meski ada beasiswa dari pemerintah deerah maupun negara tetapi tak
semua bisa lolos menikmati fasilitas itu. Akibatnya, banyak di antara mereka
yang terjegal aspirasi masa depannya lantaran uang,akses,dan fasilitas. Kita
patut bangga kepada mereka yang berhasil lolos menerobos kebuntuan ekonomi dan
penghalang lainya ( universitas /jurusan pilihan, jarak tempat tinggal, daya
dukung keluarga, dst) demi beroleh pendidikan tinggi.
Lembaga
pemeringkat perguruan tinggi Quacquarelli Symonds (QS) pada pekan
lalu merilis laporan QS Graduate Employability Rankings 2020. Laporan
tersebut menyusun peringkat 500 universitas di dunia berdasarkan persentase
lulusan yang berhasil mendapatkan pekerjaan.
Menariknya,
menurut Direktur Riset QS Ben Sowter, tidak ada hubungan yang jelas antara
prestise sebuah universitas dengan kemampuan lulusannya mendapatkan pekerjaan.
Contohnya di Indonesia, Universitas Bina Nusantara yang menempati posisi papan
bawah (801-1000) dalam QS World University Rankings justru mendapat
skor dan peringkat employability yang sejajar dengan Universitas
Indonesia dan Institut Teknologi Bandung yang menduduki posisi papan atas
dalam QS World University Rankings.
Terlepas
dari pro-kontra metode analisis yang digunakan oleh QS, analisis Ben Sowter
tersebut kiranya dapat menjadi peringatan bagi semua perguruan tinggi di Tanah
Air untuk tidak melupakan nasib lulusannya di tengah semangat kompetisi antar
perguruan tinggi untuk menaikkan prestise di tingkat nasional maupun internasional.
Direktur Jenderal Pembelajaran
dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
(Kemenristekdikti) Prof Intan Ahmad mengatakan ratusan ribu lulusan perguruan
tinggi yang mengganggur setiap tahunnya. "Jumlah lulusan perguruan tinggi
setiap tahunnya mencapai satu juta jiwa, yang menganggur ada ratusan
ribu," hal ini menujukan ketidak singkronan antara pemerintah dan
perguruan tinggi, sehingga adanya ketidak pastian lapangan pekerjaan bagi
lulusan perguruan tinggi. Akreditasi perguruan tinggi mampu menjamin lapangan
pekerjaan bagi mahasiswa dari lulusan perguruan tinggi yang menyandang
akreditas baik.
Sehinggan hal ini menjadi
masalah crusial untuk sebagian besar mahasiwa yang menempuh pendidikan di
perguruan tinggi. Mengapa demikian, ini semua di sebabkan oleh ketidak
singkronan pemerintah yang meyediakan lapangan pekerjaan dan lembaga perguruan
tinggi yang menghasilkan sumber daya manusia yang siap pakai untuk dunia kerja.
Apa
yang seharusnya terjadi? Mahasiswa di Universitas sebenarnya memproseskan
dirinya agar bisa menyiapakan dan mencapai sebuah tingkat kematangan tertentu
dalam kerja-kerja saintifik (sebagai saejana) dan peran sosialnya (sebagai
warga negara dan dunia). Namun patut disesali ketika banya sarjana yang telah
menyelesaikan studinya namun lapangan pekerjaan kurang mendukung atau tidak
memadai. Di lansir dari Badan pusat Statistik ( BPS ) per agustus 2019, jumblah penganguran lulusan
universitas mencapai 5,67 persen dari total angkatan kerja sekitar 13 juta
orang. Meski presentasinya turun di bandingkan angustus 2018 yang 5,89 persen
angkanya di atas rata-rata penganguran nasional yang besar 5,28 persen.
Berdasarkan
data di atas, kita ketahui bersama bahwa keadaan pemerintah saat ini sedang
mengahadapi beberapa persoalan kemasyarakatan salah satunya adalah tingginya
angka penganguran terdidik. Sebagaimana di ketahui dari data tingkat
penganguran terbuka (TPT) lulusan Universitas pendidikan S1 hingga S3 mencapai
737.000 orang. Diperkirakan angka penganguran tersebut akan terus bertambah
seiring banyaknya lulusan Universitas pada tahun ini maupun tahun-tahun
mendatang. Hal ini tentunya menjadi sebuah catatan penting bagi pemerintah
untuk penanganan masalah penganguran yang
tak kunjung usai di negeri ini.
Aturan
perguruan tinggi terhadap biaya perkulian yang melambung tinggi yang di
bebankan kepada mahasiswa, namun tidak dapat menjamin sebagai lulusan perguruan
tinggi untuk mendapatkan kepastian atas
ruang pekerjaan sesuai dengan bidang ilmu masing-masing. Sehingga hal
ini menjadi tanda tanya besar kemana arah lulusan perguruan tinggi dengan
beberapa permasalahan lapangan pekerjaan yang tak kunjung mendapat solusi.
Dengan kata lain banyak pertanyaan yang kemudian timbul di benak para mahasiswa
siapa kah yang salah atas ketidak pastian ini apakah sistem perguruan tinggi
atau pemerintah yang tidak memperhatikan masalah lapangan kerja terhadap
lulusan perguruan tinggi.
Untuk
itu perlu adanya korelasi antara sistem perguruan tinggi dengan sistem
pemerintahan untuk sama-sama memperhatikan hal ini. Karena hal-hal demikian
mejadi catatan penting bagi pemerintah terhadap hasil lulusan perguruan tinggi. Dengan biaya pendidikan yang tinggi seharusnya mampu memberikan timbal balik
dengan jaminan pekerjaan sebagaiman para mahasiswa harapkan.
Penulis : Ikra Paulus
Mahasiswa
jurusan PPKN FIS-UNG
Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ( PMII
)
Aktivis Forum Komunikasi Mahasiswa Muslim ( FKMM)