OMNIBUSLAW : CILAKA yang Menyebabkan CELAKA
Oleh: Andika Hunawa
Senang sekali rasanya
ketika kita mendengar Omnibus Law sekarang banyak dikaji dan mulai jadi
pembicaraan. Bukan menjadi suatu hal yang asing lagi di telinga kita, istilah
Omnibs law ini telah menjadi pokok pembicaraan hangat di masyarakat sekarang
ini, terhitung sejak pidato pertama pelantikan Presiden Joko Widodo pada bulan
Oktober 2019 lalu.
Sebagaimana bahasa
hukum lainnya, omnibus berasal dari bahasa latin omnis yang berarti banyak.
Artinya yaitu, omnibus law bersifat lintas sektor yang sering ditafsirkan
sebagai UU sapujagat. Omnibus Law adalah aturan baru yang sengaja dibuat untuk
menggantikan aturan-aturan yang ada sebelumnya. Perbedaannya sama aturan bukan
omnibus, yang bukan omnibus fokus mengurusi satu hal dalam satu undang-undang,
Kalau yang ada omnibus, dia mengatur banyak hal dalam satu undang-undang saja.
Kalau Omnibus Law ini dibuat, dia akan jadi satu-satunya rujukan, mengalahkan
undang-undang yang sudah ada sebelumnya. Itulah sebabnya dia sangat kuat dan
disebut sebagai UU Sapu Jagad karena kehadirannya menyapu jagad raya yang ada
sebelumnya.
Omnibus law sendiri ini
bukan merupakan hal yang baru, di amerika omnibus law sudah kerap kali dipakai
sebagai UU lintas sektor. Ini membuat pengesahan omnibus law oleh DPR bisa
langsung mengamandemen beberapa UU sekaligus. Menurut Audrey
O Brien (2009), omnibus law adalah suatu rancangan undang-undang
(bill) yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu
undang-undang.
Adapun berdasarka
pernyataan di atas, ketika kita melihat wacana penerapan Omnibus Law di
indonesia sendiri ada tiga hal yang disasar oleh pemerintah, yakni UU
perpajakan, cipta lapangan kerja (Cilaka), dan pemberdayaan UMKM. Sangat
menarik bagi penulis untuk mengkaji sasaran pemerintah yakni tentang UU cipta
lapangan kerja.
Semenjak menjadi
pembicaraan banyak orang Omnibus law RUU Cipta Kerja yang diusulkan pemerintah
terus mendapatkan penolakan dari publik. Serikat buruh hingga mahasiswa
ramai-ramai menyatakan penolakannya. Penulis menilai RUU Cipta Kerja terlalu
berpihak pada investor dan justru meminggirkan kepentingan masyarakat.
Pasal-pasal di dalam RUU Cipta Kerja yang terdiri atas 79 undang-undang dan 11
klaster dianggap bermasalah.
Peneliti Pusat Studi
Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura
berpendapat, "omnibus law RUU Cipta Kerja hanya menitikberatkan pada
kepentingan ekonomi". Dari pernyataan di atas memang benar sangat terlihat
jelas tidak ada pertimbangan keadilan dan kesejahteraan sosial dalam rancangan
undang-undang tersebut. Memang sangat ekonomisentris, bukan kesejahteraan,
hanya bicara pertumbuhan ekonomi saja tanpa bicara keadilan sosial dan
kesejahteraan. kemudahan dalam aspek ekonomi yang diatur dalam RUU Cipta Kerja
diberikan kepada pengusaha atau pemilik modal, Sementara kepentingan masyarakat
justru terpinggirkan. Kemudahan bukan bagi warga negara yang minim akses
terhadap sumber daya alam atau sumber daya ekonomi. Kemudahan diberikan justru
kepada pemilik modal, kepada asing, dalam rangka mengundang investor lebih
banyak. Judulnya saja Cipta Lapangan Kerja, tapi sejatinya tidak untuk membuka
lapangan kerja, melainkan investasi dan kepentingan pemodal yang diberikan
seluas-luasnya.
Gagasan utama
pemerintah mengenai Omnibus law ialah untuk mengundang investor dalam
membuka lapangan pekerjaan di Indonesia. Namun, mari kita refleksikan kembali mengenai
alasan diterbitkan Omnibus law yang diyakini untuk mempermudah
investasi. Upah buruh yang rendah selama ini menjadi salah satu daya tarik
investasi di Indonesia. Omnibus Law diterbitkan untuk menyenangkan
investor, meski harus menekan buruh. Inilah praktik korporatokrasi yakni
penguasa disetir untuk mengikuti kemauan korporasi dalam proses legislasi. Lalu
dimanakah jargon "Merakyat" yang selama ini dicitrakan?
Sangat disangsikan dan selama Indonesia masih menganut sistem kapitalisme,
selama itu pula buruh akan menjadi sapi perah ekonomi.
Seharusnya DPR harus
bisa bersikap tegas terhadap hal ini agar tidak menjadi kambing hitam atas
penolakan RUU Cipta Kerja. Pemerintah sekarang melempar prosesnya di DPR,
sehingganya silahkan masyarakat ke DPR. Jangan mau dijadikan bumper. Menahan
serangan publik terhadap substansi ini.
Ada sejumlah alasan
penolakan yang diajukan kalangan buruh. Mulai dari hilangnya upah minimum,
hilangnya jaminan sosial, berkurangnya pesangon PHK, jam kerja yang
eksplotatif, hingga ketidakjelasan nasib pekerja kontrak dan outsourcing.
Kemudian ancaman banjir tenaga kerja asing yang tak berkeahlian, kemudahan PHK
oleh perusahaan, upaya penghapusan sanksi pidana bagi perusahaan, dan aturan
yang diskriminatif bagi perempuan seperti cuti haid dan melahirkan hilang.
Sungguh sangat disayangkan akan menjadi apa nasib buruh kita kedepan.
Penulis juga
beranggapan bahwa keberadaan omnibus law RUU Cipta Kerja ini justru
akan menarik Indonesia kembali ke zaman kolonial Hindia Belanda. Karena pasal-pasal
yang terkait ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja akan menciptakan perbudakan
yang modern. sejumlah pasal dalam RUU Cipta Kerja yang akan merugikan para
pekerja. Salah satunya, para pekerja dihadapkan dengan ketidakpastian karena
status hubungan kerja kontrak tidak dibatasi.
Jika Indonesia mau
mengejar investasi, pertumbuhan investasi di indonesia sudah tinggi, lebih
tinggi daripada negara Malaysia, Afrika selatan, juga Brazil. Di ASEAN kita
yang paling tinggi. Di Asia, Indonesia juga jadi negara yang paling diminati
investor setelah China dan India. sebenarnya sudah baik-baik saja tanpa ada
Omnibus Law. Yang harusnya dilakukan oleh Indonesia itu, bukan mengotak-ngatik
aturan tenaga kerja, tetapi membenahi regulasi dan melakukan pengelolaan keuangan
negara dengan cara yang lebih ketat lagi.
Tiap-tiap warga negara
memiliki hak untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan pemerintah
termasuk perumusan peraturan perundang-undangan serta kebijakan lain yang
menyangkut kepentingan publik. Hak tersebut dijamin dalam Pasal 21 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia serta Pasal 25 Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik.
Hak untuk berpartisipasi juga perwujudan dari hak atas kebebasan berkumpul dan
berpendapat yang merupakan komponen inti dari kebebasan dalam ruang publik.
Partisipasi publik yang
efektif hanya dapat dilaksanakan apabila masyarakat cukup bebas dan independen
dalam menyampaikan pandangannya terhadap sebuah kebijakan. Oleh karena itu
sikap pemerintah dalam menyambut masukan masyarakat turut menentukan tingkat
partisipasi masyarakat tersebut. Prinsip good governance menekankan
bahwa pemerintah berkewajiban mendorong setiap warga negara untuk menggunakan
hak berpendapatnya dalam pengambilan keputusan serta menjamin kebebasan ruang
publik.
Namun, nyatanya
sekarang ini, kritikan keras masyarakat terhadap Omnibus Law hanya dilihat
sebagai penghambat rencana Pemerintah menggaet investor dan meningkatkan
kemudahan berbisnis di Indonesia. Demi melancarkan agenda investasi tersebut,
partisipasi masyarakat justru ditekan dengan dalih hendak melakukan Pendekatan
komunikasi. Sungguh cipta lapangan kerja yang membuat celaka bagi para
buruh dan rakyat Indonesia.
Penulis Merupakan Mahasiswa
S1-PPKn FIS UNG dan Kader FKMM