OMNIBUSLAW : CILAKA yang Menyebabkan CELAKA

Iklan Semua Halaman

Iklan

OMNIBUSLAW : CILAKA yang Menyebabkan CELAKA

FKMM Gorontalo
Minggu, 15 Maret 2020

OMNIBUSLAW : CILAKA yang Menyebabkan CELAKA
Oleh: Andika Hunawa

Senang sekali rasanya ketika kita mendengar Omnibus Law sekarang banyak dikaji dan mulai jadi pembicaraan. Bukan menjadi suatu hal yang asing lagi di telinga kita, istilah Omnibs law ini telah menjadi pokok pembicaraan hangat di masyarakat sekarang ini, terhitung sejak pidato pertama pelantikan Presiden Joko Widodo pada bulan Oktober 2019 lalu.

Sebagaimana bahasa hukum lainnya, omnibus berasal dari bahasa latin omnis yang berarti banyak. Artinya yaitu, omnibus law bersifat lintas sektor yang sering ditafsirkan sebagai UU sapujagat. Omnibus Law adalah aturan baru yang sengaja dibuat untuk menggantikan aturan-aturan yang ada sebelumnya. Perbedaannya sama aturan bukan omnibus, yang bukan omnibus fokus mengurusi satu hal dalam satu undang-undang, Kalau yang ada omnibus, dia mengatur banyak hal dalam satu undang-undang saja. Kalau Omnibus Law ini dibuat, dia akan jadi satu-satunya rujukan, mengalahkan undang-undang yang sudah ada sebelumnya. Itulah sebabnya dia sangat kuat dan disebut sebagai UU Sapu Jagad karena kehadirannya menyapu jagad raya yang ada sebelumnya.

Omnibus law sendiri ini bukan merupakan hal yang baru, di amerika omnibus law sudah kerap kali dipakai sebagai UU lintas sektor. Ini membuat pengesahan omnibus law oleh DPR bisa langsung mengamandemen beberapa UU sekaligus. Menurut Audrey O Brien (2009), omnibus law adalah suatu rancangan undang-undang (bill) yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang.

Adapun berdasarka pernyataan di atas, ketika kita melihat wacana penerapan Omnibus Law di indonesia sendiri ada tiga hal yang disasar oleh pemerintah, yakni UU perpajakan, cipta lapangan kerja (Cilaka), dan pemberdayaan UMKM. Sangat menarik bagi penulis untuk mengkaji sasaran pemerintah yakni tentang UU cipta lapangan kerja.

Semenjak menjadi pembicaraan banyak orang Omnibus law RUU Cipta Kerja yang diusulkan pemerintah terus mendapatkan penolakan dari publik. Serikat buruh hingga mahasiswa ramai-ramai menyatakan penolakannya. Penulis menilai RUU Cipta Kerja terlalu berpihak pada investor dan justru meminggirkan kepentingan masyarakat. Pasal-pasal di dalam RUU Cipta Kerja yang terdiri atas 79 undang-undang dan 11 klaster dianggap bermasalah.

Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura berpendapat, "omnibus law RUU Cipta Kerja hanya menitikberatkan pada kepentingan ekonomi". Dari pernyataan di atas memang benar sangat terlihat jelas tidak ada pertimbangan keadilan dan kesejahteraan sosial dalam rancangan undang-undang tersebut. Memang sangat ekonomisentris, bukan kesejahteraan, hanya bicara pertumbuhan ekonomi saja tanpa bicara keadilan sosial dan kesejahteraan. kemudahan dalam aspek ekonomi yang diatur dalam RUU Cipta Kerja diberikan kepada pengusaha atau pemilik modal, Sementara kepentingan masyarakat justru terpinggirkan. Kemudahan bukan bagi warga negara yang minim akses terhadap sumber daya alam atau sumber daya ekonomi. Kemudahan diberikan justru kepada pemilik modal, kepada asing, dalam rangka mengundang investor lebih banyak. Judulnya saja Cipta Lapangan Kerja, tapi sejatinya tidak untuk membuka lapangan kerja, melainkan investasi dan kepentingan pemodal yang diberikan seluas-luasnya.

Gagasan utama pemerintah mengenai Omnibus law ialah untuk mengundang investor dalam membuka lapangan pekerjaan di Indonesia. Namun, mari kita refleksikan kembali mengenai alasan diterbitkan Omnibus law yang diyakini untuk mempermudah investasi. Upah buruh yang rendah selama ini menjadi salah satu daya tarik investasi di Indonesia. Omnibus Law diterbitkan untuk menyenangkan investor, meski harus menekan buruh. Inilah praktik korporatokrasi yakni penguasa disetir untuk mengikuti kemauan korporasi dalam proses legislasi. Lalu dimanakah jargon "Merakyat" yang selama ini dicitrakan? Sangat disangsikan dan selama Indonesia masih menganut sistem kapitalisme, selama itu pula buruh akan menjadi sapi perah ekonomi. 

Seharusnya DPR harus bisa bersikap tegas terhadap hal ini agar tidak menjadi kambing hitam atas penolakan RUU Cipta Kerja. Pemerintah sekarang melempar prosesnya di DPR, sehingganya silahkan masyarakat ke DPR. Jangan mau dijadikan bumper. Menahan serangan publik terhadap substansi ini.

Ada sejumlah alasan penolakan yang diajukan kalangan buruh. Mulai dari hilangnya upah minimum, hilangnya jaminan sosial, berkurangnya pesangon PHK, jam kerja yang eksplotatif, hingga ketidakjelasan nasib pekerja kontrak dan outsourcing. Kemudian ancaman banjir tenaga kerja asing yang tak berkeahlian, kemudahan PHK oleh perusahaan, upaya penghapusan sanksi pidana bagi perusahaan, dan aturan yang diskriminatif bagi perempuan seperti cuti haid dan melahirkan hilang. Sungguh sangat disayangkan akan menjadi apa nasib buruh kita kedepan.

Penulis juga beranggapan bahwa keberadaan omnibus law RUU Cipta Kerja ini justru akan menarik Indonesia kembali ke zaman kolonial Hindia Belanda. Karena pasal-pasal yang terkait ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja akan menciptakan perbudakan yang modern. sejumlah pasal dalam RUU Cipta Kerja yang akan merugikan para pekerja. Salah satunya, para pekerja dihadapkan dengan ketidakpastian karena status hubungan kerja kontrak tidak dibatasi. 

Jika Indonesia mau mengejar investasi, pertumbuhan investasi di indonesia sudah tinggi, lebih tinggi daripada negara Malaysia, Afrika selatan, juga Brazil. Di ASEAN kita yang paling tinggi. Di Asia, Indonesia juga jadi negara yang paling diminati investor setelah China dan India. sebenarnya sudah baik-baik saja tanpa ada Omnibus Law. Yang harusnya dilakukan oleh Indonesia itu, bukan mengotak-ngatik aturan tenaga kerja, tetapi membenahi regulasi dan melakukan pengelolaan keuangan negara dengan cara yang lebih ketat lagi.

Tiap-tiap warga negara memiliki hak untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan pemerintah termasuk perumusan peraturan perundang-undangan serta kebijakan lain yang menyangkut kepentingan publik. Hak tersebut dijamin dalam Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta Pasal 25 Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik. Hak untuk berpartisipasi juga perwujudan dari hak atas kebebasan berkumpul dan berpendapat yang merupakan komponen inti dari kebebasan dalam ruang publik.

Partisipasi publik yang efektif hanya dapat dilaksanakan apabila masyarakat cukup bebas dan independen dalam menyampaikan pandangannya terhadap sebuah kebijakan. Oleh karena itu sikap pemerintah dalam menyambut masukan masyarakat turut menentukan tingkat partisipasi masyarakat tersebut. Prinsip good governance menekankan bahwa pemerintah berkewajiban mendorong setiap warga negara untuk menggunakan hak berpendapatnya dalam pengambilan keputusan serta menjamin kebebasan ruang publik. 

Namun, nyatanya sekarang ini, kritikan keras masyarakat terhadap Omnibus Law hanya dilihat sebagai penghambat rencana Pemerintah menggaet investor dan meningkatkan kemudahan berbisnis di Indonesia. Demi melancarkan agenda investasi tersebut, partisipasi masyarakat justru ditekan dengan dalih hendak melakukan Pendekatan komunikasi. Sungguh cipta lapangan kerja yang membuat celaka bagi para buruh dan rakyat Indonesia.

Penulis Merupakan Mahasiswa S1-PPKn FIS UNG dan Kader FKMM