Meneropong Idealisme Aktivis

Iklan Semua Halaman

Iklan

Meneropong Idealisme Aktivis

FKMM Gorontalo
Rabu, 01 April 2020

Meneropong Idealisme Aktivis 

 Oleh :
Rasid Yunus

Dalam  spektrum gerakan sosial maupun gerakan politik selalu diwarnai oleh aktivis di dalamnya. Aktivis dalam praktisnya ialah seseorang yang aktif dalam sebuah gerakan dengan nilai serta idealitas bidang yang diperjuangkannya.  Hal empirik yang sering ditunjukan oleh aktivis adalah sikap idealismenya, sikap kritisnya, leadership-nya, pembelaannya pada kaum lemah/termarjinalkan, dan bahkan sikap militannya.

Sejumlah indikator itulah seiring bersamaan dengan aktivitasnya di sebuah organisasi, dan berdasarkan hal tersebut tidak salah jika popularitas seringkali menghampiri, apalagi mereka dianggap berhasil memperjuangkan idealismenya melalui pembelaan terhadap rakyat dengan membatalkan penggusuran pemukiman di perkotaan seperti yang dilakukan oleh sejumlah LSM perkotaan, atau juga memperjuangkan penuntasan kasus korupsi seperti yang dilakukan para aktivis Indonesia Coruption Wacth (ICW). Ada juga yang menolak kebijakan negara terkait kenaikan harga BBM, dominasi asing, membengkaknya utang negara, pelanggaran HAM, dan lain sebagainya. Semua itu sering kali dilakukan aktivis mahasiswa maupun aktivis non-mahasiswa yang bergerak pada bidang tertentu di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Mereka para aktivis seringkali dinilai publik atau kelompok politik memiliki daya tarik dan jaringan yang luas. Mereka kemudian masuk ke gerbong politik partai atau non partai hingga masuk ke lingkaran kekuasaan. Pada titik inilah titik yang krusial yang dihadapi oleh aktivis. Idealisme aktivis sesungguhnya diuji ketika mereka masuk dalam lingkaran kekuasaan baik di eksekutif, legislatif, yudikatif bahkan ada pula dalam lingkup akademisi.

Secara empiris terutama di Indonesia, dulunya aktivis tapi ketika diberi kekuasaan terpeleset juga dalam pusaran masalah. Misalnya kasus ketua partai atau pimpinan partai yang berlatar belakang aktivis kemudian tersangkut kasus korupsi dan mendekam di penjara, atau aktivis mahasiswa  yang dulunya sangat radikal  bahkan mati-matian menolak kenaikan harga BBM. Lalu setelah menjadi anggota DPR, ketika harga BBM dinaikkan mereka tidak bisa bersuara. Mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa bahkan diam. Kemudian ada juga yang selalu mempersoalkan dominasi asing terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia tetapi setelah berada di lingkaran kekuasaan, justru malah membela posisi dominasi asing atau perusahaan asing yang menguras kekayaan republik. Ada juga aktivis pro demokrasi dan pro sosialisme ekonomi. Ketika diberi hadiah komisaris BUMN kehilangan nalar kritisnya.

Semuanya seolah memberi jawaban atas pertanyaan untuk apa sesungguhnya dulu mereka berjuang menjadi aktivis? Ada kecenderungan rakyat yang dulu mereka perjuangkan sekarang ditinggalkan, bahkan harapan rakyat kepadanya dilupakan. Miris memang aktivis yang pragmatis seperti ini. Ada juga yang dulunya kritis terhadap kebijakan pendidikan yang tidak merata bagi seluruh masyarakat Indonesia, akan tetapi ketika diberi akses menjadi akademisi lupa dengan misinya dulu yaitu memperbaiki pendidikan lewat kesadaran pemikirannya, bahkan malah terjebak lagi pada politik praktis serta membela dengan cara membabi buta  pemimpin/kepala daerah dengan menghadirkan dalil-dalil akademisi palsu manakala kepala daerah tadi mencalonkan lagi untuk periode selanjutnya, padahal secara faktual tidak pantas lagi memimpin.  

Apa sesungguhnya yang terjadi pada aktivis yang dulunya penuh dengan nilai dan idealisme? Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkannya (Menurut Ubedilah Badrun). Pertama, masalah  integritas. Masalah integritas ini berkaitan langsung dengan moralitas aktivis yang buruk dan lemahnya cita-cita serta ideologi perjuangan. Lemahnya ideologi perjuangan menyebabkan para aktivis kehilangan arah perjuangan. Ditambah lagi tradisi intelektual yang buruk juga memberikan sumbangan bagi rendahnya integritas. Rendahnya tradisi membaca, menulis, diskusi yang produktif, dan riset adalah ciri buruknya tradisi intelektual aktivis. Implikasinya, gagasan dan konsep yang diprodak mudah dipatahkan.

Kedua, kemiskinan. Faktor ini melemahkan kesabaran aktivis dalam penderitaan. Tidak sedikit aktivis yang miris itu karena tidak sabar dalam penderitaan hidup. Mereka tidak menyadari bahwa seharusnya sejak dalam pikiran memilih menjadi aktivis itu adalah pilihan rasional jalan perjuangan dan jalan juang itu harus siap berkorban untuk sabar dalam kemiskinan. Ini semacam ada hukum sosial yang perlu dipahami aktivis jika seseorang memilih jalan juang maka berkorban untuk sabar dalam kemiskinan adalah resiko dari pilihan. Tetapi nampaknya adigum ini tidak sepenuhnya diyakini oleh mereka yang memilih jalan aktivis. Bahkan para aktivis sudah terpola dengan doktrin tentang kesejahteraan lewat jaringan dan kekuasaan, maka perspektif apapun yang disodorkan pasti mereka mentahkan. Padahal masalah kemiskinan adalah masalah rezeki, dan masalah rezeki itu urusan metafisiknya sang pencipta asal kita berusaha dengan baik dan benar.

Ketiga, sistem. Terkadang  sistem di luar diri aktivis telah menyeret aktivis berubah menjadi pragmatis yang miris. Ia terjebak dalam mekanisme sistemik dalam praktik politik transaksional dan oligarki yang parah. Begitu aktivis memasuki arena politik ini ia dihadapkan pada sistem politik transaksional ini. Memilih masuk sistem saat ini berarti menyerah pada politik transaksional dimana pemilik modal sangat berkuasa. Aktivis akan dengan mudah misalnya dikendalikan pemilik modal dan oligarki partai. Realitas ini menyebabkan aktivis tidak bisa bersuara berbeda dengan partai politik tempat ia bergabung. Meski aktivis yang memilih jalan pragmatis ini sering berargumen mengorbankan idealisme demi cita-cita  besar tetapi luka rakyat terlalu menganga dihianati untuk waktu yang tak jelas ujungnya.

Dampak membahayakan dari tontonan aktivis pragmatis yang miris ini, ternyata merusak nalar publik dan nalar juang generasi berikutnya. Setidaknya ada dua dampak yang akan terjadi (Menurut Ubedilah Badrun). (a) munculnya ketidakpercayaan publik terhadap aktivis tersebut. Ini artinya aktivis sendiri yang akan menerima ketidakpercayaan publik. (b)  merusak mental generasi baru aktivis. Bahwa perilaku aktivis yang pragmatis kontras dengan masa sebelum masuk lingkaran kekuasaan telah merusak nalar juang generasi berikutnya. Bukankah kita bisa bercermin pada idealisme Soekarno, Hatta, Agus Salim, Tan Malaka, Sjahrir dan tokoh pejuang kemerdekaan lainnya?

Para aktivis yang selalu berjuang dengan nilai dan idealisme. Negara ini membutuhkan peran para aktivis yang memegang teguh idealismenya. Presiden/Wakil, Menteri, Gubernur, Wali Kota/Bupati, anggota DPR/MPR/DPD/DPRD hari ini berhenti hari ini pula ada penggantinya. Tapi jika aktivis berhenti beraktivitas susah untuk mencari penggantinya. Semoga bermanfaat.