Meneropong
Idealisme Aktivis
Oleh :
Rasid Yunus
Dalam spektrum gerakan sosial maupun gerakan
politik selalu diwarnai oleh aktivis di dalamnya. Aktivis dalam praktisnya
ialah seseorang yang aktif dalam sebuah gerakan dengan nilai serta idealitas
bidang yang diperjuangkannya. Hal
empirik yang sering ditunjukan oleh aktivis adalah sikap idealismenya, sikap
kritisnya, leadership-nya, pembelaannya pada kaum lemah/termarjinalkan,
dan bahkan sikap militannya.
Sejumlah
indikator itulah seiring bersamaan dengan aktivitasnya di sebuah organisasi,
dan berdasarkan hal tersebut tidak salah jika popularitas seringkali
menghampiri, apalagi mereka dianggap berhasil memperjuangkan idealismenya
melalui pembelaan terhadap rakyat dengan membatalkan penggusuran pemukiman di
perkotaan seperti yang dilakukan oleh sejumlah LSM perkotaan, atau juga
memperjuangkan penuntasan kasus korupsi seperti yang dilakukan para aktivis
Indonesia Coruption Wacth (ICW). Ada juga yang menolak kebijakan negara terkait
kenaikan harga BBM, dominasi asing, membengkaknya utang negara, pelanggaran
HAM, dan lain sebagainya. Semua itu sering kali dilakukan aktivis mahasiswa
maupun aktivis non-mahasiswa yang bergerak pada bidang tertentu di Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM).
Mereka
para aktivis seringkali dinilai publik atau kelompok politik memiliki daya
tarik dan jaringan yang luas. Mereka kemudian masuk ke gerbong politik partai
atau non partai hingga masuk ke lingkaran kekuasaan. Pada titik inilah titik
yang krusial yang dihadapi oleh aktivis. Idealisme aktivis sesungguhnya diuji
ketika mereka masuk dalam lingkaran kekuasaan baik di eksekutif, legislatif,
yudikatif bahkan ada pula dalam lingkup akademisi.
Secara
empiris terutama di Indonesia, dulunya aktivis tapi ketika diberi kekuasaan
terpeleset juga dalam pusaran masalah. Misalnya kasus ketua partai atau
pimpinan partai yang berlatar belakang aktivis kemudian tersangkut kasus
korupsi dan mendekam di penjara, atau aktivis mahasiswa yang dulunya
sangat radikal bahkan mati-matian
menolak kenaikan harga BBM. Lalu setelah menjadi anggota DPR, ketika harga BBM
dinaikkan mereka tidak bisa bersuara. Mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa
bahkan diam. Kemudian ada juga yang selalu mempersoalkan dominasi asing
terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia tetapi setelah
berada di lingkaran kekuasaan, justru malah membela posisi dominasi asing atau
perusahaan asing yang menguras kekayaan republik. Ada juga aktivis pro demokrasi
dan pro sosialisme ekonomi. Ketika diberi hadiah komisaris BUMN kehilangan
nalar kritisnya.
Semuanya
seolah memberi jawaban atas pertanyaan untuk apa sesungguhnya dulu mereka
berjuang menjadi aktivis? Ada kecenderungan rakyat yang dulu mereka perjuangkan
sekarang ditinggalkan, bahkan harapan rakyat kepadanya dilupakan. Miris memang
aktivis yang pragmatis seperti ini. Ada juga yang dulunya kritis terhadap
kebijakan pendidikan yang tidak merata bagi seluruh masyarakat Indonesia, akan
tetapi ketika diberi akses menjadi akademisi lupa dengan misinya dulu yaitu
memperbaiki pendidikan lewat kesadaran pemikirannya, bahkan malah terjebak lagi
pada politik praktis serta membela dengan cara membabi buta pemimpin/kepala daerah dengan menghadirkan
dalil-dalil akademisi palsu manakala kepala daerah tadi mencalonkan lagi untuk
periode selanjutnya, padahal secara faktual tidak pantas lagi memimpin.
Apa
sesungguhnya yang terjadi pada aktivis yang dulunya penuh dengan nilai dan
idealisme? Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkannya (Menurut Ubedilah
Badrun). Pertama, masalah integritas. Masalah integritas ini berkaitan
langsung dengan moralitas aktivis yang buruk dan lemahnya cita-cita serta
ideologi perjuangan. Lemahnya ideologi perjuangan menyebabkan para aktivis
kehilangan arah perjuangan. Ditambah lagi tradisi intelektual yang buruk juga
memberikan sumbangan bagi rendahnya integritas. Rendahnya tradisi membaca,
menulis, diskusi yang produktif, dan riset adalah ciri buruknya tradisi
intelektual aktivis. Implikasinya, gagasan dan konsep yang diprodak mudah
dipatahkan.
Kedua,
kemiskinan. Faktor ini melemahkan kesabaran aktivis dalam penderitaan. Tidak
sedikit aktivis yang miris itu karena tidak sabar dalam penderitaan hidup.
Mereka tidak menyadari bahwa seharusnya sejak dalam pikiran memilih menjadi
aktivis itu adalah pilihan rasional jalan perjuangan dan jalan juang itu harus
siap berkorban untuk sabar dalam kemiskinan. Ini semacam ada hukum sosial yang
perlu dipahami aktivis jika seseorang memilih jalan juang maka berkorban untuk
sabar dalam kemiskinan adalah resiko dari pilihan. Tetapi nampaknya adigum ini
tidak sepenuhnya diyakini oleh mereka yang memilih jalan aktivis. Bahkan para
aktivis sudah terpola dengan doktrin tentang kesejahteraan lewat jaringan dan
kekuasaan, maka perspektif apapun yang disodorkan pasti mereka mentahkan.
Padahal masalah kemiskinan adalah masalah rezeki, dan masalah rezeki itu urusan
metafisiknya sang pencipta asal kita berusaha dengan baik dan benar.
Ketiga,
sistem. Terkadang sistem di luar diri
aktivis telah menyeret aktivis berubah menjadi pragmatis yang miris. Ia
terjebak dalam mekanisme sistemik dalam praktik politik transaksional dan
oligarki yang parah. Begitu aktivis memasuki arena politik ini ia dihadapkan
pada sistem politik transaksional ini. Memilih masuk sistem saat ini berarti
menyerah pada politik transaksional dimana pemilik modal sangat berkuasa. Aktivis
akan dengan mudah misalnya dikendalikan pemilik modal dan oligarki partai.
Realitas ini menyebabkan aktivis tidak bisa bersuara berbeda dengan partai
politik tempat ia bergabung. Meski aktivis yang memilih jalan pragmatis ini
sering berargumen mengorbankan idealisme demi cita-cita besar tetapi luka
rakyat terlalu menganga dihianati untuk waktu yang tak jelas ujungnya.
Dampak
membahayakan dari tontonan aktivis pragmatis yang miris ini, ternyata merusak
nalar publik dan nalar juang generasi berikutnya. Setidaknya ada dua dampak
yang akan terjadi (Menurut Ubedilah Badrun). (a) munculnya ketidakpercayaan
publik terhadap aktivis tersebut. Ini artinya aktivis sendiri yang akan
menerima ketidakpercayaan publik. (b) merusak mental generasi baru aktivis. Bahwa
perilaku aktivis yang pragmatis kontras dengan masa sebelum masuk lingkaran
kekuasaan telah merusak nalar juang generasi berikutnya. Bukankah kita bisa
bercermin pada idealisme Soekarno, Hatta, Agus Salim, Tan Malaka, Sjahrir dan
tokoh pejuang kemerdekaan lainnya?
Para
aktivis yang selalu berjuang dengan nilai dan idealisme. Negara ini membutuhkan
peran para aktivis yang memegang teguh idealismenya. Presiden/Wakil, Menteri,
Gubernur, Wali Kota/Bupati, anggota DPR/MPR/DPD/DPRD hari ini berhenti hari ini
pula ada penggantinya. Tapi jika aktivis berhenti beraktivitas susah untuk mencari
penggantinya. Semoga bermanfaat.