Pohuwato,
Etnisitas dan Karakter Bangsa
Oleh : Rasid
Yunus
Pada tahun 2013
penulis melakukan riset di Kota Gorontalo tentang “Transformasi Nilai-Nilai
Budaya Lokal Sebagai Upaya Pembangunan Karakter Bangsa Studi Kasus Budaya Huyula di Kota Gorontalo”. Kesimpulan
umum penelitian ini meliputi Huyula memiliki
nilai-nilai yang bisa dijadikan sebagai sarana pembangunan karakter bangsa di
Kota Gorontalo. Walaupun secara fungsional kegiatan Huyula tidak kontekstual lagi, tetapi paling tidak nilai-nilai yang
terkandung dalam Huyula masih bisa
difungsikan saat ini.
Sebagai contoh, di
Jepang dulunya ada tradisi “Harakiri”
yakni tradisi bunuh diri dengan cara menusukan samurai ke perut jika seseorang
pemuda gagal melakukan sesuatu kebaikan. Seiring berjalannya waktu tradisi “Harakiri” berubah ke tradisi malu. Jika
seorang pejabat melakukan kesalahan (baik yang sengaja maupun tidak disengaja),
maka tanpa didesak sang pejabat ini langsung mengundurkan diri, karena
menganggap telah gagal menjalankan tugasnya.
Salah satu rekomendasi
penelitian itu ialah perlu dilakukan riset lanjutan di beberapa daerah di
Gorontalo, untuk menunjang proses pembangunan karakter bangsa di Provinsi
Gorontalo. Olehnya, pada tahun 2014 penulis melakukan riset lanjutan (riset
mandiri) di Pohuwato dengan tema “Pembangunan Karakter Bangsa di Kabupaten
Pohuwato Melalui Kearifan Lokal Studi Kasus Etnis yang berada di Banuroja,
Bohusami dan Londoun.
Pohuwato merupakan
daerah unik yang berada di Provinsi Gorontalo. Keunikan tersebut dapat dilihat
dari keragaman etnik yang dimilikinya. Memang secara antropologis etnik ini
merupakan pendatang, karena faktor keamanan dan kenyamananlah sehingga meraka
sampai hari ini menetap di Pohuwato, dan merasa sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari masyarakat asli Pohuwato. Bahkan mereka menganggap Pohuwato merupakan
daerah yang tepat untuk melangsungkan aktifitas-produktif, guna mempertahankan kelangsungan hidup.
Secara sederhana etnik dapat diartikan sebagai ciri yang
melekat pada masyarakat tertentu, ciri ini sebagai penanda berbedanya kelompok
masyarakat satu dengan lainnya. Hanya saja perbedaan ciri tersebut tidak
menjadikan masyarakat satu dengan lain mudah terhasut oleh isu memecah belah persatuan. Di Pohuwato ada tiga
kecamatan yang memiliki keunikan tersendiri tanpa mengabaikan keunikan
kecamatan lain pula. Keunikan tersebut nampak pada Kecamatan Randangan yakni di
Desa Banuroja, Kecamatan Wanggarasi di Desa Bohusami dan di Kecamatan Popayato
Timur yakni Desa Londoun.
Desa Londoun secara terminologi diartikan sebagai daerah
pengasihan. Dulu waktu penjajahan derah ini memang sudah diberikan oleh
penjajah kepada etnik Sanger (Siau dan Talaud). Di Desa Londoun mayoritas
penduduknya adalah Nasrani. Hanya saja suasana persatuan selalu terjalin dengan
masyarakat desa sekitar yang notabenenya berbeda keyakinan dengan masyarakat
Londoun. Sebut saja Desa Tahele yang terletak di bagain Barat Desa Londun.
Antara masyarakat Tahele dan Londoun terjalin interaksi dan relasi sosial yang
sangat baik.
Ada satu kebiasaan
yang melekat pada masyarakat Londoun yakni menjadikan gereja sebagai sarana
persatuan manusia dan juga sebagai sarana pencegahan kenakalan remaja. Hal ini
penting, karena konflik horizontal terjadi biasanya dimulai dari perkelahian
antara remaja yang berbeda etnik dan kepercayaan yang berskala kecil sampai
pada konflik yang berskala besar yakni kerusuhan antar antar kampung dan desa.
Olehnya, tokoh masyarakat maupun tokoh agama di Londoun sangat menyadari hal
ini, sehingga gereja sebagai sarana ibadah dimanfaatkan pula sebagai sarana
pencegahan kenakalan remaja.
Suasana yang sama pula
terjadi di Desa Bohusami Kecamatan Wanggarasi. Bohusami secara etimologi
diartikan sebagai Bolaang Mongondow, Hulondalo, Sanger dan Minahasa. Nama ini
merupakan nama penciri desa, yang terdiri dari etnik dan suku tersebut.
Bohusami merupakan daerah transmigrasi lokal Sulawesi Utara. Dulu waktu program
trasmigrasi digalakan oleh pemerintah pusat, biasanya transmigrasi hanya
berlaku bagi masyarakat Sumatra, Jawa dan Bali. Tetapi atas nama pemerataan
Gubernur Sulawesi Utara Cornelis Jhon Rantung mengambil kebijakan transmigrasi
lokal Sulawesi Utara pada tahun 1990-an, dan Bohusami merupakan hasil dari
transmigrasi lokal tersebut.
Yang
menarik ke Bohusami, dari arah Ibu Kota Pohuwato (Marisa) ketemu Kecamatan
Randangan kemudian belok kanan melewati jalan Kecamatan Taludi, medannya
mungkin biasa-biasa saja. Tetapi jika dari arah Marisa ketemu ibu Kota
Kecamatan Wanggarasi kemudian belok kanan menuju Desa Bohusami, maka saat
itulah adrenalin akan diuji. Karena medan dan jalan yang dilalui lumayan
terjal, melewati gunung yang luar biasa
tingginya ditambah jalannya sempit. Untungnya saat itu dengan menggunakan
kenderaan motor, penulis ditemani oleh seseorang yang sudah terbiasa melalui
medan ini sehingga penulis sampai di Desa Bohusami. Paling tidak kondisi itu penulis
temui 5 tahun yang lalu.
Di
Bohusami ada satu tradisi etnik yang baik. Tradisi tersebut nampak pada
kegiatan umat beragama. Di Bohusami untuk mencegah konflik horizontal dilakukan
pertemuan-pertemuan rutin melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Kelompok ini merupakan wadah yang dijadikan shar informasi tentang kondisi
keamanan dan kenyamanan Bohusami. Bukan hanya itu, isu-isu yang miring yang
disinyalir akan menggiring kearah konflik langsung dibahas dan diselesaikan
lewat forum ini.
Praktek
kebaikan pula ditunjukan oleh masyarakat Desa Banuroja, walaupun jenis kegiatannya
berbeda sebagaimana terdapat di Desa Londoun dan di Desa Bohusami. Desa Banuroja didirikan tahun 2003 sebagai
hasil pemekaran dari Desa Manunggal
Karya. Di Banuroja Kecamatan Randangan ada semacam prinsip yang dipegang teguh
oleh masyarakatnya yakni “Kita Membangun Kita”. Prinsip yang mengandung makna
saling membantu dalam bingkai kerukunan di tengah-tengah keragaman agama dan
etnik.
Menariknya,
ketika masuk ke Desa Banuroja, melewati gapura khas Bali setinggi kurang lebih
3 meter yang bertuliskan selamat datang di Desa Wisata Banuroja di sisi kiri
kanan gapura tersebut. Di Banuroja, tempat ibadah umat beragama sangat berdekatan,
baik pura, gereja dan masjid. Namun kondisi ini tidak menjadikan masyarakat
Banuroja terjebak pada konflik.
Secara
geneologis, Banuroja berasal dari kata Bali, Nusa Tenggara, Gorontalo, Jawa
bahkan seiring berjalannya waktu bertambah entitas penduduknya, ada yang dari
DKI Jakarta dan Sulawesi pada umumnya. Di Banuroja, toleransi bukan hanya
muncul dalam tataran teori, tetapi secara alamiah telah mereka jalankan secara
konsisten. Toleransi ini bukan hanya pada tataran pengakuan kemajemkan, tetapi
dipraktekan pula pada suasana membangun desa secara bersama-sama dengan berpegang
teguh pada prinsip “Kita Membangun Kita”.
Wujud
dari kebersamaan membangun desa, di Banuroja dalam konteks pengelolaan
pemerintahan desa selalu mengedepankan unsur keterwakilan etnik. Sebagai
contoh, jika kepala desa beragama Hindu, maka Sekretaris Desa dari agama
Nasrani maupun Muslim. Begitu pula seluruh aparat desa selalu mendepankan unsur
keterwakilan etnik maupun agama yang berada di Banuroja.
Potret
yang terjadi pada masyarakat Pohuwato Khususnya di Londoun Kecamatan Popayato
Timur, di Bohusami Kecamatan Wanggarasi dan Banuroja di Kecamatan Randangan,
merupakan bentuk kearifan lokal (local
wisdom) yang sangat diperlukan pada penguatan karakter bangsa khsusunya di
Kabupaten Pohuwato. Penguatan karakter bangsa yang mengabaikan tradisi lokal
sama seperti mengharapkan barang tetapi tak memiliki materi untuk mendapatkan
barang tersebut. Akhirnya, barang yang diinginkan tak kunjung dimiliki. Begitu pula dalam penguatan karakter bangsa
di Pohuwato, jika abai terhadap instrumen local
wisdom jangan berharap karakter yang diinginkan akan terwujud.
Artinya,
jika menginginkan karakter warga negara baik, maka hal utama yang dilakukan
adalah galilah potensi kearifan lokalnya, karena itulah kekayaan dan kekuatan
original bangsa ini. Contoh tradisi “Harakiri”
yang bergeser ke tradisi “Malu” di Jepang merupakan bukti empirik begitu
pentingnya tradisi lokal dalam penguatan karakter warga negara.
Penguatan
karakter bangsa bukan hanya dilakukan lewat jargon atau kampanye politik yang
miskin referensi serta desain implementasinya. Perlu dipahami, penguatan karakter tidak cukup dengan
mempromosikan keunikan daerah ini, menyediakan sarana infrastruktur untuk
memperlancar mobilitas masyarakatnya, memberi label nama ini dan itu. Tetapi
yang harus dipikirkan adalah bagaimana tradisi positif ini tetap terpelihara
dengan baik kepada generasi berikutnya. Semoga bermanfaat.