Pohuwato, Entitas dan Karakter Bangsa

Iklan Semua Halaman

Iklan

Pohuwato, Entitas dan Karakter Bangsa

FKMM Gorontalo
Senin, 20 April 2020

Pohuwato, Etnisitas dan Karakter Bangsa



Oleh : Rasid Yunus

Pada tahun 2013 penulis melakukan riset di Kota Gorontalo tentang “Transformasi Nilai-Nilai Budaya Lokal Sebagai Upaya Pembangunan Karakter Bangsa Studi Kasus Budaya Huyula di Kota Gorontalo”. Kesimpulan umum penelitian ini meliputi Huyula memiliki nilai-nilai yang bisa dijadikan sebagai sarana pembangunan karakter bangsa di Kota Gorontalo. Walaupun secara fungsional kegiatan Huyula tidak kontekstual lagi, tetapi paling tidak nilai-nilai yang terkandung dalam Huyula masih bisa difungsikan saat ini.

Sebagai contoh, di Jepang dulunya ada tradisi “Harakiri” yakni tradisi bunuh diri dengan cara menusukan samurai ke perut jika seseorang pemuda gagal melakukan sesuatu kebaikan. Seiring berjalannya waktu tradisi “Harakiri” berubah ke tradisi malu. Jika seorang pejabat melakukan kesalahan (baik yang sengaja maupun tidak disengaja), maka tanpa didesak sang pejabat ini langsung mengundurkan diri, karena menganggap telah gagal menjalankan tugasnya.

Salah satu rekomendasi penelitian itu ialah perlu dilakukan riset lanjutan di beberapa daerah di Gorontalo, untuk menunjang proses pembangunan karakter bangsa di Provinsi Gorontalo. Olehnya, pada tahun 2014 penulis melakukan riset lanjutan (riset mandiri) di Pohuwato dengan tema “Pembangunan Karakter Bangsa di Kabupaten Pohuwato Melalui Kearifan Lokal Studi Kasus Etnis yang berada di Banuroja, Bohusami dan Londoun.

Pohuwato merupakan daerah unik yang berada di Provinsi Gorontalo. Keunikan tersebut dapat dilihat dari keragaman etnik yang dimilikinya. Memang secara antropologis etnik ini merupakan pendatang, karena faktor keamanan dan kenyamananlah sehingga meraka sampai hari ini menetap di Pohuwato, dan merasa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat asli Pohuwato. Bahkan mereka menganggap Pohuwato merupakan daerah yang tepat untuk melangsungkan aktifitas-produktif, guna  mempertahankan kelangsungan hidup.

Secara sederhana etnik dapat diartikan sebagai ciri yang melekat pada masyarakat tertentu, ciri ini sebagai penanda berbedanya kelompok masyarakat satu dengan lainnya. Hanya saja perbedaan ciri tersebut tidak menjadikan masyarakat satu dengan lain mudah terhasut oleh isu  memecah belah persatuan. Di Pohuwato ada tiga kecamatan yang memiliki keunikan tersendiri tanpa mengabaikan keunikan kecamatan lain pula. Keunikan tersebut nampak pada Kecamatan Randangan yakni di Desa Banuroja, Kecamatan Wanggarasi di Desa Bohusami dan di Kecamatan Popayato Timur yakni Desa Londoun.

Desa Londoun secara terminologi diartikan sebagai daerah pengasihan. Dulu waktu penjajahan derah ini memang sudah diberikan oleh penjajah kepada etnik Sanger (Siau dan Talaud). Di Desa Londoun mayoritas penduduknya adalah Nasrani. Hanya saja suasana persatuan selalu terjalin dengan masyarakat desa sekitar yang notabenenya berbeda keyakinan dengan masyarakat Londoun. Sebut saja Desa Tahele yang terletak di bagain Barat Desa Londun. Antara masyarakat Tahele dan Londoun  terjalin interaksi dan relasi sosial   yang sangat baik.

Ada satu kebiasaan yang melekat pada masyarakat Londoun yakni menjadikan gereja sebagai sarana persatuan manusia dan juga sebagai sarana pencegahan kenakalan remaja. Hal ini penting, karena konflik horizontal terjadi biasanya dimulai dari perkelahian antara remaja yang berbeda etnik dan kepercayaan yang berskala kecil sampai pada konflik yang berskala besar yakni kerusuhan antar antar kampung dan desa. Olehnya, tokoh masyarakat maupun tokoh agama di Londoun sangat menyadari hal ini, sehingga gereja sebagai sarana ibadah dimanfaatkan pula sebagai sarana pencegahan kenakalan remaja.

Suasana yang sama pula terjadi di Desa Bohusami Kecamatan Wanggarasi. Bohusami secara etimologi diartikan sebagai Bolaang Mongondow, Hulondalo, Sanger dan Minahasa. Nama ini merupakan nama penciri desa, yang terdiri dari etnik dan suku tersebut. Bohusami merupakan daerah transmigrasi lokal Sulawesi Utara. Dulu waktu program trasmigrasi digalakan oleh pemerintah pusat, biasanya transmigrasi hanya berlaku bagi masyarakat Sumatra, Jawa dan Bali. Tetapi atas nama pemerataan Gubernur Sulawesi Utara Cornelis Jhon Rantung mengambil kebijakan transmigrasi lokal Sulawesi Utara pada tahun 1990-an, dan Bohusami merupakan hasil dari transmigrasi lokal tersebut.

Yang menarik ke Bohusami, dari arah Ibu Kota Pohuwato (Marisa) ketemu Kecamatan Randangan kemudian belok kanan melewati jalan Kecamatan Taludi, medannya mungkin biasa-biasa saja. Tetapi jika dari arah Marisa ketemu ibu Kota Kecamatan Wanggarasi kemudian belok kanan menuju Desa Bohusami, maka saat itulah adrenalin akan diuji. Karena medan dan jalan yang dilalui lumayan terjal, melewati gunung  yang luar biasa tingginya ditambah jalannya sempit. Untungnya saat itu dengan menggunakan kenderaan motor, penulis ditemani oleh seseorang yang sudah terbiasa melalui medan ini sehingga penulis sampai di Desa Bohusami. Paling tidak kondisi itu penulis temui 5 tahun yang lalu.

Di Bohusami ada satu tradisi etnik yang baik. Tradisi tersebut nampak pada kegiatan umat beragama. Di Bohusami untuk mencegah konflik horizontal dilakukan pertemuan-pertemuan rutin melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Kelompok ini merupakan wadah yang dijadikan shar informasi tentang kondisi keamanan dan kenyamanan Bohusami. Bukan hanya itu, isu-isu yang miring yang disinyalir akan menggiring kearah konflik langsung dibahas dan diselesaikan lewat forum ini.

Praktek kebaikan pula ditunjukan oleh masyarakat Desa Banuroja, walaupun jenis kegiatannya berbeda sebagaimana terdapat di Desa Londoun dan  di Desa Bohusami.  Desa Banuroja didirikan tahun 2003 sebagai hasil pemekaran dari Desa  Manunggal Karya. Di Banuroja Kecamatan Randangan ada semacam prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakatnya yakni “Kita Membangun Kita”. Prinsip yang mengandung makna saling membantu dalam bingkai kerukunan di tengah-tengah keragaman agama dan etnik.

Menariknya, ketika masuk ke Desa Banuroja, melewati gapura khas Bali setinggi kurang lebih 3 meter yang bertuliskan selamat datang di Desa Wisata Banuroja di sisi kiri kanan gapura tersebut. Di Banuroja, tempat ibadah umat beragama sangat berdekatan, baik pura, gereja dan masjid. Namun kondisi ini tidak menjadikan masyarakat Banuroja terjebak pada konflik.    

Secara geneologis, Banuroja berasal dari kata Bali, Nusa Tenggara, Gorontalo, Jawa bahkan seiring berjalannya waktu bertambah entitas penduduknya, ada yang dari DKI Jakarta dan Sulawesi pada umumnya. Di Banuroja, toleransi bukan hanya muncul dalam tataran teori, tetapi secara alamiah telah mereka jalankan secara konsisten. Toleransi ini bukan hanya pada tataran pengakuan kemajemkan, tetapi dipraktekan pula pada suasana membangun desa secara bersama-sama dengan berpegang teguh pada prinsip “Kita Membangun Kita”.

Wujud dari kebersamaan membangun desa, di Banuroja dalam konteks pengelolaan pemerintahan desa selalu mengedepankan unsur keterwakilan etnik. Sebagai contoh, jika kepala desa beragama Hindu, maka Sekretaris Desa dari agama Nasrani maupun Muslim. Begitu pula seluruh aparat desa selalu mendepankan unsur keterwakilan etnik maupun agama yang berada di Banuroja.

Potret yang terjadi pada masyarakat Pohuwato Khususnya di Londoun Kecamatan Popayato Timur, di Bohusami Kecamatan Wanggarasi dan Banuroja di Kecamatan Randangan, merupakan bentuk kearifan lokal (local wisdom) yang sangat diperlukan pada penguatan karakter bangsa khsusunya di Kabupaten Pohuwato. Penguatan karakter bangsa yang mengabaikan tradisi lokal sama seperti mengharapkan barang tetapi tak memiliki materi untuk mendapatkan barang tersebut. Akhirnya, barang yang diinginkan tak kunjung dimiliki.  Begitu pula dalam penguatan karakter bangsa di Pohuwato, jika abai terhadap instrumen local wisdom jangan berharap karakter yang diinginkan akan terwujud.

Artinya, jika menginginkan karakter warga negara baik, maka hal utama yang dilakukan adalah galilah potensi kearifan lokalnya, karena itulah kekayaan dan kekuatan original bangsa ini. Contoh tradisi “Harakiri” yang bergeser ke tradisi “Malu” di Jepang merupakan bukti empirik begitu pentingnya tradisi lokal dalam penguatan karakter warga negara.      

Penguatan karakter bangsa bukan hanya dilakukan lewat jargon atau kampanye politik yang miskin referensi serta desain implementasinya. Perlu dipahami, penguatan karakter tidak cukup dengan mempromosikan keunikan daerah ini, menyediakan sarana infrastruktur untuk memperlancar mobilitas masyarakatnya, memberi label nama ini dan itu. Tetapi yang harus dipikirkan adalah bagaimana tradisi positif ini tetap terpelihara dengan baik kepada generasi berikutnya. Semoga bermanfaat.