Dalam percakapan sehari-hari, sering kita menggunakan kata “pikir”.
Kata ini sering muncul dalam percakapan formal, nonformal maupun informal. Misalnya kalimat
“di era sekarang yang diperlukan adalah otak bukan otot”. Otak yang dimaksud
adalah berpikir atau pikiran. Dengan menggunakan pikiran, kita bisa membaca arah
pikir lawan bicara. Begitupun sebaliknya.
Secara sederhana berpikir adalah membangun ide, konsep, serta
menghasilkan pemikiran yang baru. Berkembangnya
pemikiran diperoleh dari informasi yang disimpan dalam folder/file otak
manusia. Ketika fenomena politik yang diamati, maka keluarlah folder politik
beserta filenya (semacam pilkada, pileg, pilpres, partai politik maupun aktifitas
politik lainnya).
Jika masalah pendidikan yang disuguhkan, maka yang keluar
adalah folder dan file pendidikan (seperti pemerataan pendidikan, standar-standar
pendidikan nasional baik standar pendidikan dasar, menengah dan standar
nasional pendidikan tinggi). Hal yang sama pula terjadi pada fenomena yang
bersentuhan dengan bidang lain.
Olah pikir sesungguhnya bukan hanya berkaitan dengan
pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi berkaitan pula dengan kebutuhan manusia.
Dalam teori hirarki kebutuhan, Maslow menggambarkan manusia
memerlukan beberapa kebutuhan, seperti : 1) Kebutuhan Fisiologis, yang meliputi
kebutuhan sandang, pangan dan papan; 2) Kebutuhan Akan Rasa Aman, yang mencakup
bebas dari kriminalitas, perang, cemas, bahaya, kerusuhan maupun bencana alam; 3) Kebutuhan Akan Rasa Memiliki dan Kasih Sayang, seperti
kebutuhan akan cinta, kasih sayang maupun memiliki dan dimiliki; 4) Kebutuhan
Akan Penghargaan, meliputi penghargaan terhadap prestasi, kemuliaan, apresiasi
bahkan pengakuan akan dominasi; 5) Kebutuhan Akan Aktualisasi Diri, mencakup
kenginan yang dijalankan terus-menerus untuk memenuhi hasrat potensi diri.
Uraian di
atas menuntun kita bahwa ketika seseorang berpikir, pasti ada orientasinya.
Hanya saja, dalam kehidupan sehari-hari kita tidak boleh membabi buta
menggunakan pikiran tanpa mempertimbangkan unsur (baik buruk dan benar salah).
Jika salah menggunakan pemikiran, maka berimplikasi pada
ketidakbaikan. Irisan antara materi dan ilmu pengetahuan sebagai prodak dari
pikiran sangatlah kental dan terkadang seseorang terjebak pada ranah yang
sempit.
Sebagai contoh jika orang memandang materi adalah hal yang
pokok, maka pikiran menjadi alat untuk mendapatkan keinginan materi tersebut. Sehingga
tidak jarang kita menemukan individu yang katanya ilmuan tetapi produk
keilmuannya hanya untuk memuaskan hasrat materi yang diinginkan tanpa
memperhatikan secara holistik produk pemikirannya.
Bahkan demi materi, individu terjebak pada “pengemis intelektual”, menjual ide sana sini,
memanfaatkan jaringannya dan berlaga seolah kaum cendikiawan tetapi bidikan
akhir adalah materi.
Memang dalam kehidupan sehari-hari, tidak bisa lepas dari
kebutuhan dasar manusia seperti kebutuhan materi dan lain-lain. Tetapi, kita harus bijak
menyikapinya.
Kaum pemikir yang tidak terjebak pada praktek “pengemis
intelektual” bukan berarti mereka tidak paham akan cara-cara tersebut, mereka
paham. Akan tetapi mereka sadar bahwa hal tersebut tidak baik dan merupakan
bentuk penghianatan/pengingkaran terhadap tujuan akhir dari sebuah ilmu
pengetahuan.
Tujuan akhir ilmu pengetahun sebagai prodak dari
pikiran/tafsir adalah nilai. Materi adalah dampak penggirinya. Artinya, niatan
awal adalah pengembangan ilmu pengetahuan kemudian mendapat apresiasi materi
dari kegiatan tersebut, bukan malah sebaliknya.
Kaum
pemikir yang seperti ini, juga tidak membatasi ruang gerak untuk mengaktualisasikan
ilmu di manapun berada, tapi mereka sadar
memposisikan diri. Karena dalam ruang dan konteks, mereka selalu dibekali
pikiran (baik buruk dan benar salah). Semoga bermanfaat.
Penulis : Rasyid Yunus