Setiap
kader bisa memberi cahaya. Dengan karakter berbeda, selalu ada jejak kenangan
yang ditinggalkan. Ketulusan sebuah pengabdian, kebersamaan, pengalaman, itu semua tidak sekedar cerita hidup, melainkan memberi makna-makna hidup. Hal itu yang bisa dipelajari dari Kanda
Muchsin.
Saya
belum kenal lama, pertemuan awal terjadi di sebuah acara Reuni Alumni Forum
Komunikasi Mahasiswa Muslim (FKMM) Gorontalo, di Pentadio Resort, Limboto. Pada
kegiatan itu terasa, bagaimana memori masa lalu ditampilkan lewat drama. Cerita
tentang kehidupan asrama begitu banyak, mulai soal administrasi organisasi,
hingga orang bermain gitar tanpa suara dimainkan oleh para aktor. Kemampuan
mereka mendapatkan sambutan tepuk tangan.
Momen
itu luar biasa, jumlah generasi baru (baca: mahasiswa) yang menyaksikan lumayan
banyak. Semua saling merangkul untuk menyukseskan kegiatan. Selama acara, atmosfer
kekeluargaan dibangun dengan tidak mengabaikan semangat berpengetahuan. Itu
pandangan saya.
Pertemuan
berlanjut, ketika saya mengikuti Temu Orientasi FKMM Gorontalo. Kegiatan
dilaksanakan selama 3 hari. Para alumni turut hadir, mereka menyapa peserta,
sebagian memberi materi. Begitupun Kanda Muhsin Pasi, di sela-sela kegiatan
forum, beliau mendapat kesempatan memberi motivasi dan semacamnya. Jiwa
humorisnya membangun suasana. Beliau hadir dengan sejumlah permainan yang
menantang dan menggelak tawa.
Renungan
Malam Menghanyutkan
Setelah
kurang lebih tiga hari menerima materi, tiba malam terakhir. Seluruh kader diminta
menutup mata, lampu ruangan meredup dan suasana hening. Bila tak salah ingat,
malam itu tidak ada yang tidur. Kanda Muchsin pun datang, meminta kami
merenung. Perlahan, kalimat-kalimatnya menghanyutkan, membakar semangat
sekaligus memberi kekuatan.
“Bayangkan
wajah orang tua di rumah”, kurang lebih begitu arahan Kanda Muchsin. Seketika, peserta
banyak yang menangis, tapi bukan tangisan yang kosong. Sebaiknya seperti itu, kepada
Ibu dan Ayah setiap “aktivis” di negeri ini perlu berterima kasih. Sebuah puisi,
ditulis Zawawi Imron “Kalau aku ikut
ujian, lalu ditanya tentang pahlawan, namamu ibu yang kan ku sebut paling
dahulu, lantaran aku tahu, engkau ibu dan aku anakmu”. Musisi ternama Ebiet
G. Ade, menyanyikan lewat lagu “Titip Rindu Buat Ayah”. Singkatnya, tak ada
karya yang bisa dipuja, tanpa
pengorbanan orang tua. Setiap kita punya cara untuk berterima kasih.
Tidak
terasa waktu subuh pun tiba, renungan selesai. Peserta bergegas melaksanakan sholat
di masjid terdekat. Lepas itu semua kembali berkumpul. Bubur “kacang ijo” jadi
santapan luar biasa. Lingkaran percakapan terbentuk dan ada yang
mengabadikannnya dengan foto bersama.
Pohuwato
dan Obituary
Selepas
kegiatan, tepat di depan gedung, Kanda
Muchsin bertanya, mana orang Pohuwato?
Dua orang mengangkat tangan, termasuk saya. Sebuah rencana besar coba
dirancang, kurang lebih kata beliau, “Insyallah kita akan buat temu orientasi
di Pohuwato”. Saya dan seorang teman
mengiyakan rencana tersebut dan siap membantu. Di situ terlihat bagaimana semangat Kanda
Muchsin.
Setelah
itu kegiatan forum mulai berjalan. Diskusi, bazar dan rapat rutin dilakukan.
Hanya saja, beberapa agenda besar terpaksa ditunda sebab pandemi. Waktu terus
berjalan. Pada Rabu, 27 April 2020, ada kabar yang kurang baik. Kanda Muchsin
sedang dirawat di rumah sakit. Doa para kader “semoga cepat sembuh”.
Tidak
berselang beberapa hari, grup whatsaap
kembali ramai, isinya berita duka. Ternyata, Kanda Muchsin telah menghembuskan
nafas terakhir di Rumah Sakit Pohuwato. Beliau pergi, tapi jejak kenangan itu
selalu ada. Semangatnya yang luar biasa telah memberi cahaya. Setiap orang akan
mengingat dengan pengalaman dan cara masing-masing. Tenanglah di sana kanda!!!
*Kader FKMM
Gorontalo 2020
Penulis : Moh. Rezki Daud (Kader FKMM 2020).
Sumber Foto: Laman Facebook Ramli Ondang Djau.