Temporer
ini, banyak hal yang terjadi dalam kehidupan manusia. Hal ini disebabkan oleh
Pandemi Covid-19 yang mengubah tatanan dunia yang tadinya terencana dengan baik
seketika semuanya berubah dalam sekejap. Banyak pakar ekonomi berpendapat bahwa
ekonomilah yang paling besar menjadi sasaran empuk dari Covid-19. Namun, ketika
kita bedah secarah lebih mendalam bukan hanya ekonomi namun hampir semua
komponen kehidupan menjadih sasaran dari pada wabah ini.
Di
Indonesia sendiri sebagai salah satu Negara yang terpapar wabah penyakit Covid
-19 hingga saat ini berjuang keras agar terlepas dari cengkraman wabah ini.
Berbagai cara telah di tempuh oleh pihak pemerintah namun saja masi jauh dari
target yang dinginkan, tidak bisa kita pungkiri bahwa hal ini bukan hanya
terkait dengan kinerja dari pemerintah namun masyarakat sendiri sangat berperan penting dalam hal ini. Saya kira
kita haruslah berkaca dan mengkaji ulang terkait hal ini, Jhon Rawls di dalam
Bukunya Teori Keadilan “suatu teori, betapapun elegan dan ekonomis, harus di
tolak atau direvisi jika ia tidak benar” demikian juga hukum dan institusi
tidak peduli betapapun efisien dan
rapinya, harus direvisi atau di hapuskan jika tidak adil.
Berbagai
peraturan yang sudah di rilis oleh pihak pemerintah belum bisah terealisasi
dengan baik, ironisnya berbagai peraturan yang dikeluarkan memuat banyak
problematika antara satu peraturan dengan peraturan yang lain saling tidak searah.
Dari Presiden sendiri sekurang-kurangnya sudah mengeluarkan 8 peraturan
Presiden dalam kurun waktu beberapa bulan saja, sehingga terjadilah obesitas
peraturan, belum lagi peraturan Mentri yang di rilis dalam hal penanganan
Covid-19. Hal ini membuat khalayak umum bertanya-tanya mengapa dari sekian
banyak peraturan belum bisah membuat Negara ini keluar dari wabah ini. Bahkan mereka
mempertanyakan apakah dari kesekian peraturan
harus adanya OMNIBULAW agar dapat melahirkan satu peraturan yang memang
benar-benar mampu untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Saya
contohkan saja terkait dengan larangan Berkumpul, kita semua telah mengetahui
bahwa hal ini melahirkan banyak perdebatan yang berujung pada dua perspektif
berbeda. Namun hemat saya berdasarkan
pasal 28E ayat (3) “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat”. Jelas dan
tegas bahwa hak yang di atur dalam pasal tersebut tergolong dalam hak asasi
sebagai seorang warga Negara yang dimana hal itu di atur dan di batasi oleh
Negara. Hal ini senada dengan pendapat Thomas Paine didalam bukunya Daulat
Manusia Bahwa hak tersebut dibagi dalam dua hal, yaitu hak manusia yang
diberikan langsung oleh Tuhan dan Hak yang diberikan Oleh Negara. Selain itu,
dalam hukum terdapat asas Lex Specialis
Derogat legi Generali (Undang-Undang Spesial mengesampingkan Undanag-Undang
Umum), belum lagi situasi dan kondisi yang mengharuskan agar kita saat ini
untuk harus mematuhi peraturan tentang larangan berkumpul.
Namun,
yang mengganjal adalah terkait dengan perilaku Institusi sebagai pihak yang
berwajib dan berwenang dalam hal
menjalankan peraturan tersebut, dalam pengamatan kita sehari-hari perlakuan
dari pada pihak yang berwajib telah melanggar Hak Asasi Manusia. Ironisnya
mereka melandasi dengan mantra manis bahwa hal
ini dikarenakan situasi dan
kondisi yang membuat mereka bertindak. “Hak-hak (hak asasi manusia) yang
dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar menawar politik, atau kalkulasi kepentingan social dalm situasi
apapun” Jhon Rawls. Dari pernyataan
tersebut jelas bahwa dalam situasi apapun tidak lah boleh sekali-kali kita bertindak
kasar dalam hal menjalankan peraturan. Seharusnya, bertindak secara Teori
Pemenuhan Tegas (street compliance
theory) bukan malah bertindak secara Teori Pemenuhan Parsial (partial Compliance Theory), hal ini di
karenakan teori pemenuhan parsial jelas menekan dan mendesak.
Selain
itu, sebagaimana yang saya katakan diatas bahwa masyarakat adalah salah satu pihak
yang paling berperan dalam hal pemberantasan pandemi Covid-19. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang dimana sebagaian besar bermata
pencaharian petani dan nelayan atau sebut saja keseharian mereka mengharuskan
keluar rumah untuk mengais keuntungan, hal ini lah yang manjadi salah satu
pertimbangan pemerintah tidak melaksanakan Lock
Down. Rakyat sendiri sebenarnya mengalami dilema, sebab di karenakan ketika
mereka memilih di rumah saja maka ekonomi mereka pasti akan terguncang. Tapi,
peraturan seelegan, atau seefisien bagaimana pun, selama masyarakat tidak
mematuhinya maka hal itu hanya menjadi sebatas tinta hitam yang diukir diatas
kertas putih. Urgensitas yang nyata adalah masyarakat mengalami stigma yang
berlebihan sehingga membuat mereka takut dan panik.
Saya
coba menawarkan sebuah proposal (konsep) dalam penanganan Covid-19. Berikut ini
merupakan beberapa saran saya terkait dengan cara-cara penanganan Pandemi
Covid-19:
11. Pemerintah
RI harus sesegera mungkin untuk menutup jalur transportasi baik laut, darat,
dan udara di berbagai Negara;
22. Bukan
hanya penutupan berskala nasional namun local saya kira hal ini perlu, dari 34
provinsi harusnya menutup jalur transportasi untuk sementara waktu. Transpotasi
dijinkan hanya untuk pemasokan logisttik, itupun harus melalui pengawas yang
intes dari pihak pememrintah
33. Setelah
itu, semua warga negara harus di paksa untuk dirumahkan. Jauh sebelum itu,
berbagai bentuk kebutuhan harus tersedia.
44. Langka
selanjutnya, melakukan rapid tes secara besar-besaran dengan caatatan Tim Medis
lah yang mendatangi masyarakat di setiap rumah demi menghindari adanya
perkumpulan ketika di undang untuk tes di Ruma Sakit atau Puskesmas terdekat.
55. Stelah
hasil tes didapat, maka mereka yang positif, ODP, PDP, silahkan dikarantina
atau di obati hingga sembuh. Dengan
begitu masyarakat yang tidak terkontaminasi Covid-19 bisa beraktivitas
seperti biasanya tanpa ada yang di takuti. Namun jalur transpotasi masi harus
di tutup agar mengikhtiarkan jangan sampai ada masyarakat dari luar daerah yang
posotif korona masuk ke provinsi lainnya.
Sejauh
ini, Indonesia belum mendapatkan bantuan dari dunia Internasional. Hal ini
menandakan bahwa bukan persoalan Indonesia tidak memiliki hubungan baik dengan dunia luar,
akan tetapi Negara-Negara di luar sana pun sementara sedang berjuang seperti
halnya Ibu Pertiwi. Sehingga di akhir tulisan ini saya mengajak kepada kita sekalian untuk
merenungkan bahwa saat ini, kita harus berbenah dan mandiri, jangan lagi
mengharapkan bantuan dari dunia luar. Sebagaimana di jelaskan oleh Pramoedya
Ananta Toer bahwa Indonesia haruslah membangun sifaat Individu agar bisa
berbubah dan menjadi Negara maju. Hal yang sama di sebutkan oleh Kwik Kian Gie
dalam buku Nasib Rakyat Indonesia Pascka Era Kemerdekaan, bahwa langka pertama
yang membuat Indonesia menjadi macan asia adalah dengan harus adanya percaya
diri sebagai bangsa yang kuat dan bangsa yang besar.
Penulis : Madyatama SY. Failisa. Kader FKMM.