Legal, Structure, Culture selama periode Pandemi

Iklan Semua Halaman

Iklan

Legal, Structure, Culture selama periode Pandemi

FKMM Gorontalo
Senin, 04 Mei 2020



Temporer ini, banyak hal yang terjadi dalam kehidupan manusia. Hal ini disebabkan oleh Pandemi Covid-19 yang mengubah tatanan dunia yang tadinya terencana dengan baik seketika semuanya berubah dalam sekejap. Banyak pakar ekonomi berpendapat bahwa ekonomilah yang paling besar menjadi sasaran empuk dari Covid-19. Namun, ketika kita bedah secarah lebih mendalam bukan hanya ekonomi namun hampir semua komponen kehidupan  menjadih  sasaran dari pada wabah ini.

Di Indonesia sendiri sebagai salah satu Negara yang terpapar wabah penyakit Covid -19 hingga saat ini berjuang keras agar terlepas dari cengkraman wabah ini. Berbagai cara telah di tempuh oleh pihak pemerintah namun saja masi jauh dari target yang dinginkan, tidak bisa kita pungkiri bahwa hal ini bukan hanya terkait dengan kinerja dari pemerintah namun masyarakat sendiri sangat  berperan penting dalam hal ini. Saya kira kita haruslah berkaca dan mengkaji ulang terkait hal ini, Jhon Rawls di dalam Bukunya Teori Keadilan “suatu teori, betapapun elegan dan ekonomis, harus di tolak atau direvisi jika ia tidak benar” demikian juga hukum dan institusi tidak peduli  betapapun efisien dan rapinya, harus direvisi atau di hapuskan jika tidak adil.

Berbagai peraturan yang sudah di rilis oleh pihak pemerintah belum bisah terealisasi dengan baik, ironisnya berbagai peraturan yang dikeluarkan memuat banyak problematika antara satu peraturan dengan peraturan yang lain saling tidak searah. Dari Presiden sendiri sekurang-kurangnya sudah mengeluarkan 8 peraturan Presiden dalam kurun waktu beberapa bulan saja, sehingga terjadilah obesitas peraturan, belum lagi peraturan Mentri yang di rilis dalam hal penanganan Covid-19. Hal ini membuat khalayak umum bertanya-tanya mengapa dari sekian banyak peraturan belum bisah membuat Negara ini keluar dari wabah ini. Bahkan mereka mempertanyakan apakah dari kesekian peraturan  harus adanya OMNIBULAW agar dapat melahirkan satu peraturan yang memang benar-benar mampu untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Saya contohkan saja terkait dengan larangan Berkumpul, kita semua telah mengetahui bahwa hal ini melahirkan banyak perdebatan yang berujung pada dua perspektif berbeda. Namun hemat  saya berdasarkan pasal 28E ayat (3) “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Jelas dan tegas bahwa hak yang di atur dalam pasal tersebut tergolong dalam hak asasi sebagai seorang warga Negara yang dimana hal itu di atur dan di batasi oleh Negara. Hal ini senada dengan pendapat Thomas Paine didalam bukunya Daulat Manusia Bahwa hak tersebut dibagi dalam dua hal, yaitu hak manusia yang diberikan langsung oleh Tuhan dan Hak yang diberikan Oleh Negara. Selain itu, dalam hukum terdapat asas Lex Specialis Derogat legi Generali (Undang-Undang Spesial mengesampingkan Undanag-Undang Umum), belum lagi situasi dan kondisi yang mengharuskan agar kita saat ini untuk harus mematuhi peraturan tentang larangan berkumpul.

Namun, yang mengganjal adalah terkait dengan perilaku Institusi sebagai pihak yang berwajib dan  berwenang dalam hal menjalankan peraturan tersebut, dalam pengamatan kita sehari-hari perlakuan dari pada pihak yang berwajib telah melanggar Hak Asasi Manusia. Ironisnya mereka melandasi dengan mantra manis bahwa hal  ini dikarenakan situasi dan  kondisi yang membuat mereka bertindak. “Hak-hak (hak asasi manusia) yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar menawar politik, atau  kalkulasi kepentingan social dalm situasi apapun” Jhon Rawls. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa dalam situasi apapun tidak lah boleh sekali-kali kita bertindak kasar dalam hal menjalankan peraturan. Seharusnya, bertindak secara Teori Pemenuhan Tegas (street compliance theory) bukan malah bertindak secara Teori Pemenuhan Parsial (partial Compliance Theory), hal ini di karenakan teori pemenuhan parsial jelas menekan dan mendesak.

Selain itu, sebagaimana yang saya katakan diatas bahwa masyarakat adalah salah satu pihak yang paling berperan dalam hal pemberantasan pandemi Covid-19.  Masyarakat Indonesia adalah masyarakat  yang dimana sebagaian besar bermata pencaharian petani dan nelayan atau sebut saja keseharian mereka mengharuskan keluar rumah untuk mengais keuntungan, hal ini lah yang manjadi salah satu pertimbangan pemerintah tidak melaksanakan Lock Down. Rakyat sendiri sebenarnya mengalami dilema, sebab di karenakan ketika mereka memilih di rumah saja maka ekonomi mereka pasti akan terguncang. Tapi, peraturan seelegan, atau seefisien bagaimana pun, selama masyarakat tidak mematuhinya maka hal itu hanya menjadi sebatas tinta hitam yang diukir diatas kertas putih. Urgensitas yang nyata adalah masyarakat mengalami stigma yang berlebihan sehingga membuat mereka takut dan panik.

Saya coba menawarkan sebuah proposal (konsep) dalam penanganan Covid-19. Berikut ini merupakan beberapa saran saya terkait dengan cara-cara penanganan Pandemi Covid-19:
11. Pemerintah RI harus sesegera mungkin untuk menutup jalur transportasi baik laut, darat, dan udara di berbagai Negara;
22. Bukan hanya penutupan berskala nasional namun local saya kira hal ini perlu, dari 34 provinsi harusnya menutup jalur transportasi untuk sementara waktu. Transpotasi dijinkan hanya untuk pemasokan logisttik, itupun harus melalui pengawas yang intes dari pihak pememrintah
33. Setelah itu, semua warga negara harus di paksa untuk dirumahkan. Jauh sebelum itu, berbagai bentuk kebutuhan harus tersedia.
44. Langka selanjutnya, melakukan rapid tes secara besar-besaran dengan caatatan Tim Medis lah yang mendatangi masyarakat di setiap rumah demi menghindari adanya perkumpulan ketika di undang untuk tes di Ruma Sakit atau Puskesmas terdekat.
55. Stelah hasil tes didapat, maka mereka yang positif, ODP, PDP, silahkan dikarantina atau di obati hingga sembuh. Dengan  begitu masyarakat yang tidak terkontaminasi Covid-19 bisa beraktivitas seperti biasanya tanpa ada yang di takuti. Namun jalur transpotasi masi harus di tutup agar mengikhtiarkan jangan sampai ada masyarakat dari luar daerah yang posotif  korona masuk ke provinsi lainnya.


Sejauh ini, Indonesia belum mendapatkan bantuan dari dunia Internasional. Hal ini menandakan bahwa bukan persoalan Indonesia tidak  memiliki hubungan baik dengan dunia luar, akan tetapi Negara-Negara di luar sana pun sementara sedang berjuang seperti halnya Ibu Pertiwi. Sehingga di akhir tulisan ini saya  mengajak kepada kita sekalian untuk merenungkan bahwa saat ini, kita harus berbenah dan mandiri, jangan lagi mengharapkan bantuan dari dunia luar. Sebagaimana di jelaskan oleh Pramoedya Ananta Toer bahwa Indonesia haruslah membangun sifaat Individu agar bisa berbubah dan menjadi Negara maju. Hal yang sama di sebutkan oleh Kwik Kian Gie dalam buku Nasib Rakyat Indonesia Pascka Era Kemerdekaan, bahwa langka pertama yang membuat Indonesia menjadi macan asia adalah dengan harus adanya percaya diri sebagai bangsa yang kuat dan bangsa yang besar. 



Penulis : Madyatama SY. Failisa. Kader FKMM.