LEMITO "KOI" (Pemuda Lemito)

Iklan Semua Halaman

Iklan

LEMITO "KOI" (Pemuda Lemito)

FKMM Gorontalo
Sabtu, 23 Mei 2020


Tulisan ini dipersembahkan untuk masyarakat Lemito (lebih khusus kepada para ahli bahasa, sejarahwan, budayawan/antropolog). Uraiannya memuat dan memperkenalkan kata “Koi”. Bagaimana makna operasional kata ini, silahkan dinikmati. Selanjutnya, selamat membaca.

Lemito berasal dari bahasa Tomini yang mengandung arti ada “Orang”. Secara geneologis tahun 1896 sekelompok suku Tomini  yang dipimpin oleh Raja Autango berlayar dari arah Barat (Moutong Sulawesi Tengah),  menuju ke Timur (melewati Lemito Gorontalo) kemudian terdampar di pulau Payata (Dokumen Pemerintah Pohuwato).

Anggota rombongan itu naik ketiang perahu dan melihat ada kumpulan asap di pulau lain. Hal ini disampaikan kepada temannya yang bernama Lemi bahwa di seberang ada “To”. Dalam bahasa Tomini  “To” artinya “Orang”. Maka sejak saat itulah sumber kumpulan asap ini disebut Lemito, yang sekarang diabadikan menjadi sebuah nama salah satu desa dan kecamatan di Pohuwato.

Dulunya Lemito merupakan Ibu Kota Kecamatan Popayato yang membawahi 13 Desa yakni Lemito, Lomuli, Wanggarasi Barat, Wanggarasi Timur, Milangodaa, Londoun, Tahele, Bunto, Popayato, Telaga, Torosiaje, Dudewulo dan Molosipat. Sebagai implikasi dari otonomi daerah, Kecamatan Popayato pecah menjadi beberapa kecamatan yakni Kecamatan Popayato, Popayato Barat, Popayato Timur, Wanggarasi dan Kecamatan Lemito.

Dalam perkembangannya, nama Lemito bukan hanya satu desa tapi dua desa (Lemito Utara dan Lemito). Nama Kecamatan yakni Kecamatan Lemito ibu Kotanya adalah Lemito Kabupaten Pohuwato. Saat ini Kecamatan Lemito membawahi 8 desa yaitu  Desa Lemito, Lemito Utara, Kenari, Wanggarasi Barat,  Wanggarasi Tengah,  Suka Damai,  Lomuli dan Babalonge. Luas wilayah 459,80 km2, dengan jumlah penduduk 11.923 jiwa (Lemito dalam angka, 2019).

Di Kecamatan Lemito, ada satu bahasa/kata etnik sebagai kata tambahan dalam  komunikasi sehari-hari. Kata tersebut adalah “Koi”. Kata ini secara gramatikal mengandung makna majemuk. Terkadang dimaknai sebagai ekspresi kasih sayang, ekspresi pengeluhan, ekspresi bahasa pertemanan, bahkan sering digunakan sebagai ekspresi bahasa kritis.

Contoh percakapan menggunakan kata “Koi” : dari mana ngana koi”, “mo ka Lemito koi”, “ngana pe tugas so selesai, ala belum koi”. Panggilan sayang kepada suami/istri (koi..koi..dimana), “antar kamari di sini dia koi”. Bahasa kritis terhadap pemerintah  “ala koi dorang ini tida butul ba urus torang pe daerah” dan masih banyak lagi kalimat yang sering diberi awalan – akhiran “Koi”.

Hal ini menjadi tantangan para ahli (bahasa, antropolog maupun ahli sejarah) untuk menelusuri uniknya kata “Koi”, sehingga diperoleh epistemologi yang komprehensif-memadai tentang kata ini.

Sepintas tentang “Koi”. Di Jepang kata “Koi” diartikan sebagai ikan karper. Dalam dunia olahraga “Koi” merupakan singkatan dari Komite Olimpiade Indonesia (KOI). Pun dalam dunia bisnis “Koi” dijumpai di Taiwan yaitu “Koi The” sebuah jaringan kedai miunuman susu mutiara asal Taiwan. Bahkan sekarang perusahan “Koi The” merambat ke bidang makanan dan minuman yang tersebar di beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, Macau, Kamboja dan Indonesia.

Terlepas dari majemuknya makna “Koi”, di Lemito kata ini merupakan identitas pergaulan sehari-hari. Ketika bertemu dan berbicara di manapun, tidaklah sulit menelusuri asal usul orang Lemito. Sebab dalam percakapan, kata “Koi” sering muncul. Apalagi percakapan yang melibatkan sesama orang Lemito.

Hanya saja kata “Koi” penggunaannya fleksibel, tergantung dengan siapa orang Lemito berbicara dan dalam ruang serta konteks apa pembicaraannya. “Koi” merupakan penghela kebersamaan orang Lemito. Oleh karena itu, di manapun orang Lemito berada merasa bersaudara. Sebab ikatan antropologis “Koi” menjadi perekat masyarakatnya.

Bagi penulis “Koi” bukan sekedar kata dalam konteks komunikasi. Tetapi “Koi” lahir merupakan ekspresi kebudayaan orang Lemito. “Koi” bisa dijelmakan sebagai modal sosial orang Lemito, sebab romantisme “Koi” tidak bisa dipisahkan dari perjalanan panjang entitas masyarakat Lemito.

Dimanapun orang Lemito berada, “Koi” tetap selalu mengikuti dan menyelimutinya. Karena “Koi” merupakan bagian dari jati diri dan kebudayaan masyarakatnya. Hal ini positif guna menghadapi terpaan globalisasi yang membawa misi menghomogenkan kebudayaan dunia, dan mengabaikan local genius yang mengandung makna kebaikan untuk keberlangsungan hidup sebuah bangsa. Semoga bermanfaat.




Penulis : Rasyid Yunus