Tulisan ini
dipersembahkan untuk masyarakat Lemito (lebih khusus kepada para ahli bahasa,
sejarahwan, budayawan/antropolog). Uraiannya memuat dan memperkenalkan kata “Koi”. Bagaimana makna operasional kata
ini, silahkan dinikmati. Selanjutnya, selamat membaca.
Lemito berasal
dari bahasa Tomini yang mengandung arti ada “Orang”. Secara geneologis tahun
1896 sekelompok suku Tomini yang
dipimpin oleh Raja Autango berlayar dari arah Barat (Moutong Sulawesi Tengah), menuju ke Timur (melewati Lemito Gorontalo)
kemudian terdampar di pulau Payata (Dokumen Pemerintah Pohuwato).
Anggota rombongan
itu naik ketiang perahu dan melihat ada kumpulan asap di pulau lain. Hal ini
disampaikan kepada temannya yang bernama Lemi bahwa di seberang ada “To”. Dalam bahasa Tomini “To”
artinya “Orang”. Maka sejak saat itulah sumber kumpulan asap ini disebut Lemito,
yang sekarang diabadikan menjadi sebuah nama salah satu desa dan kecamatan di
Pohuwato.
Dulunya Lemito
merupakan Ibu Kota Kecamatan Popayato yang membawahi 13 Desa yakni Lemito,
Lomuli, Wanggarasi Barat, Wanggarasi Timur, Milangodaa, Londoun, Tahele, Bunto,
Popayato, Telaga, Torosiaje, Dudewulo dan Molosipat. Sebagai implikasi dari
otonomi daerah, Kecamatan Popayato pecah menjadi beberapa kecamatan yakni
Kecamatan Popayato, Popayato Barat, Popayato Timur, Wanggarasi dan Kecamatan
Lemito.
Dalam
perkembangannya, nama Lemito bukan hanya satu desa tapi dua desa (Lemito Utara
dan Lemito). Nama Kecamatan yakni Kecamatan Lemito ibu Kotanya adalah Lemito
Kabupaten Pohuwato. Saat ini Kecamatan Lemito membawahi 8 desa yaitu Desa Lemito, Lemito Utara, Kenari, Wanggarasi
Barat, Wanggarasi Tengah, Suka Damai,
Lomuli dan Babalonge. Luas wilayah 459,80 km2, dengan jumlah
penduduk 11.923 jiwa (Lemito dalam angka, 2019).
Di Kecamatan Lemito,
ada satu bahasa/kata etnik sebagai kata tambahan dalam komunikasi sehari-hari. Kata tersebut adalah “Koi”. Kata ini secara gramatikal mengandung
makna majemuk. Terkadang dimaknai sebagai ekspresi kasih sayang, ekspresi
pengeluhan, ekspresi bahasa pertemanan, bahkan sering digunakan sebagai
ekspresi bahasa kritis.
Contoh
percakapan menggunakan kata “Koi” : dari
mana ngana koi”, “mo ka Lemito koi”, “ngana pe tugas so selesai, ala
belum koi”. Panggilan sayang kepada
suami/istri (koi..koi..dimana), “antar
kamari di sini dia koi”. Bahasa kritis
terhadap pemerintah “ala koi dorang ini tida butul ba urus torang
pe daerah” dan masih banyak lagi kalimat yang sering diberi awalan – akhiran “Koi”.
Hal ini
menjadi tantangan para ahli (bahasa, antropolog maupun ahli sejarah) untuk menelusuri
uniknya kata “Koi”, sehingga diperoleh epistemologi yang komprehensif-memadai
tentang kata ini.
Sepintas
tentang “Koi”. Di Jepang kata “Koi” diartikan sebagai ikan karper.
Dalam dunia olahraga “Koi” merupakan
singkatan dari Komite Olimpiade Indonesia (KOI). Pun dalam dunia bisnis “Koi” dijumpai di Taiwan yaitu “Koi The” sebuah jaringan kedai miunuman
susu mutiara asal Taiwan. Bahkan sekarang perusahan “Koi The” merambat ke bidang makanan dan minuman yang tersebar di
beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, Macau, Kamboja dan Indonesia.
Terlepas dari
majemuknya makna “Koi”, di Lemito
kata ini merupakan identitas pergaulan sehari-hari. Ketika bertemu dan berbicara
di manapun, tidaklah sulit menelusuri asal usul orang Lemito. Sebab dalam
percakapan, kata “Koi” sering muncul.
Apalagi percakapan yang melibatkan sesama orang Lemito.
Hanya saja
kata “Koi” penggunaannya fleksibel,
tergantung dengan siapa orang Lemito berbicara dan dalam ruang serta konteks
apa pembicaraannya. “Koi” merupakan
penghela kebersamaan orang Lemito. Oleh karena itu, di manapun orang Lemito
berada merasa bersaudara. Sebab ikatan antropologis “Koi” menjadi perekat masyarakatnya.
Bagi penulis “Koi” bukan sekedar kata dalam konteks
komunikasi. Tetapi “Koi” lahir
merupakan ekspresi kebudayaan orang Lemito. “Koi”
bisa dijelmakan sebagai modal sosial orang Lemito, sebab romantisme “Koi” tidak bisa dipisahkan dari
perjalanan panjang entitas masyarakat Lemito.
Dimanapun
orang Lemito berada, “Koi” tetap
selalu mengikuti dan menyelimutinya. Karena “Koi”
merupakan bagian dari jati diri dan kebudayaan masyarakatnya. Hal ini positif guna
menghadapi terpaan globalisasi yang membawa misi menghomogenkan kebudayaan
dunia, dan mengabaikan local genius yang
mengandung makna kebaikan untuk keberlangsungan hidup sebuah bangsa. Semoga
bermanfaat.
Penulis : Rasyid Yunus