Negara dan Pandemi

Iklan Semua Halaman

Iklan

Negara dan Pandemi

FKMM Gorontalo
Jumat, 01 Mei 2020

Negara dan Pandemi
Oleh : Rasid Yunus

Secara akademik terbentuknya negara dipengaruhi oleh beberapa teori seperti: Pertama, teori hukum alam. Menurut teori ini negara terjadi karena faktor alamiah; Kedua, teori Ke-Tuhanan. Teori ini muncul ketika lahir agama-agama besar di dunia seperti Islam, Kristen dan lain-lain. Menurut teori ini negara lahir karena kehendak Tuhan dan  Ketiga, teori perjanjian. Teori ini berpandangan bahwa negara terbentuk karena hasil perjanjian manusia. Selain itu, terbentuknya negara dipengaruhi oleh penaklukan, peleburan, pemecahan, pemisahan diri serta perjuangan/revolusi.

Jika mengkaji proses terbentuknya negara Indonesia, maka paling tidak bisa ditelusuri lewat pembukaan UUD 1945 pada kalimat “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Kalimat ini mengandung makna bahwa terbentuknya Indonesia menganut teori Ke-Tuhanan, teori perjanjian dan perjuangan/revolusi.

Ahli geopolitik dunia F. Ratzel menguraikan bahwa negara ibarat organisme makhluk hidup yakni lahir, tumbuh/berkembang, memuncak, surut kemudian mati. Pertanyaannya kapan negara termasuk Indonesia akan mengalami fase tumbuh/berkembang, memuncak kemudian mati?. Jawabannya adalah tergantung pada ancaman negara tersebut baik ancaman militer, nonmiliter maupun ancaman hibrida.

Khusus ancaman nonmiliter, Kementerian Pertahanan RI mengidentikasi macam-macam ancaman nonmiliter yang dialami oleh Indonesia saat ini. Ancaman tersebut Nampak pada bidang ekonomi, politik, ideologi, legislasi, teknologi, sosial budaya dan keselamatan umum. Khsusus ancaman dalam keselamatan umum salah satunya adalah pandemi (epidemi/penyakit menular). 

Pandemi adalah penyakit. Tapi tidak semua penyakit disebut pandemi. Lalu apakah pendemi itu?. Dalam KBBI pandemi dimaknai sebagai wabah penyakit yang berjangkit secara serempak di mana-mana yang meliputi daerah teritori dan daerah geografi yang sangat luas. Secara sederhana pandemi dimaknai pula sebagai wabah penyakit global.

Saat ini dunia  dihebohkan pandemi Corona atau penyakit Coronavirus Disease (Covid-19). Keberadaan Covid-19 memang sudah lama. Tetapi baru heboh dan menggemparkan setelah tanggal 20 Januari 2020 otoritas kesehatan di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok merilis tiga orang dinyatakan tewas setelah menderita penyakit ini.

Setelah meninggalnya 3 pasien, ternyata Covid-19 sudah menular ke beberapa orang sehingga penularannya pun terkesan masif. Akhirnya banyak korban yang ditimbulkannya baik sakit, maupun korban meninggal dunia. Kemudian penyebaran Covid-19 bukan hanya di Wuhan tapi hampir ke seluruh Provinsi di Tiongkok.

Tidak membutuhkan waktu lama, penyakit ini menyebar ke hampir seluruh negara di dunia, baik negara-negara yang berada di benua Asia, Eropa, Timor Tengah, Amerika, Amerika Selatan dan Afrika serta menimbulkan banyak korban (sakit dan meninggal dunia). Yang jelas jika ada negara yang sudah terjangkit virus ini, maka akan menelan korban baik korban sakit maupun meninggal dunia. Walaupun jumlah korban masing-masing negara bervariasi.  Pertanyaan berikut adalah kenapa virus ini bisa muncul?. Untuk menjawab pertanyaan ini, tiga pendekatan yang bisa digunakan.

Pertama, pendekatan konspirasi. Di dunia ini ada dua perilaku manusia yang sering mewarnai yakni perilaku baik dan perilaku buruk. Perilaku baik selalu menjadikan bumi beserta isinya secara teratur dan benar. Sebaliknya, perilaku buruk sangat merusak. Negara, kekuasaan, politik, hukum termasuk pandemi dikendalikan oleh kelompok ini dan dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan mereka. Kelompok ini membawa misi ideologi dan ekonomi, tetapi semua itu untuk kepentingan mereka.

Kedua, pendekatan lingkungan. Beberapa ahli lingkungan berpendapat bahwa hadirnya Covid-19 karena pengelolaan lingkungan yang tidak benar. Penggundulan hutan, ilegal logging dan aktifitas pertambangan yang kurang baik menyebabkan habitat makhluk hidup termasuk virus yang tinggal di hutan terganggu. Akhirnya mereka bermigrasi mencari tempat yang nyaman. Kemudian ketemu manusia dan terjadilah penularan awal dari hewan ke manusia. Selanjutnya proses penularan bergeser dari manusia ke manusia.

Ketiga, pendekatan epidemik. Sama halnya dengan MERS dan SARS, Covid-19 pun dipercaya berasal dari kelelawar. Akan tetapi, meski analisis filogenetik menunjukan hal tersebut, namun bagaimana virus berpindah dari populasi hewan ke manusia belum ditemukan. Sebelumnya hewan yang dijual di pasar makanan laut di Wuhan diasumsikan menjadi perantara munculnya Covid-19 pada manusia. Namun, pada 5 dari 7 kasus Covid-19 yang pertama tidak memiliki keterkaitan dengan pasar makanan laut di Wuhan tersebut.

Keempat, pendekatan agama. Pendekatan ini beranggapan bahwa segala kejadian di langit dan di bumi merupakan takdir dari Tuhan yang harus diterima dengan ikhlas. Semua kejadian di alam ini termasuk kehadiran pandemi Covid-19 tidak bisa dilepaskan dari campur tangan Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu, pendekatan ini selalu menekankan bahwa kehadiran Covid-19 pasti memiliki hikmah kebaikan dari Tuhan.

Keempat pendekatan di atas menurut penulis menarik untuk dikaji, karena memiliki dasar akademis dan dasar keyakinan.  Walaupun kajian mendalam dan spesifik kurang tersaji pada tulisan ini. Paling tidak sebagai pemahaman awal pentingnya pertimbangan ilmiah, kepercayaan dan keyakinan untuk menelaah hadirnya pandemi Covid-19.  

Secara global penanganan Covid-19 melibatkan kerjasama-produktif negara-negara di dunia, terutama sesama negara yang terdampak pandemi ini. Hal hal ini dilakukan untuk memutus mata rantai penularan Covid-19 yang telah banyak menelan korban (korban sakit maupun korban meninggal dunia).

Untuk kasus di Indoensia, jumlah korban terus bertambah, apalagi kondisi orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pemantauan (PDP) masih banyak jumlahnya. Ditambah lagi pasien tanpa gejala masih ditemukan.

Berdasarkan hal tersebut, pemerintah pusat membuat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang pelaksanaan teknisnya disesuaikan dengan kondisi wabah masing-masing daerah. Artinya pemberlakuan teknis PSBB di daerah tergantung usulan pemerintah daerah ke pemerintah pusat dengan memperhatikan beberapa persyaratannya.   

Yang pasti jika usulan PSBB dari daerah disetujui oleh pemerintah pusat, maka implikasinya akan membatasi kegiatan masyarakat di luar rumah, seperti   pelayanan perkantoran dan pendidikan akan dipindahkan ke rumah. Mobilitas masyarakat dibatasi. Toko dan sarana dagang lainnya dibatasi jam opresionalnya.   Rekreasi, hiburan dan olahraga dihentikan. Bahkan pelaksanaan shalat berjamaah di masjid dipindahkan ke rumah masing-masing serta pelaksanaan ibadah puasa beserta tradisi kebaikan yang mengikutinya tidak seperti suasana sebelum-sebelumnyanya. Pendeknya, PSBB membatasi ruang gerak penduduk untuk beraktifitas-produktif sebagaimana biasanya.

Untuk mengurangi beban rakyat karena pemberlakuan PSBB, pemerintah pusat mengeluarkan paket kebijakan ekonomi untuk mengurangi beban keluarga klaster  tertentu. Hal ini penting, karena PSBB akan berimplikasi pada ekonomi keluarga. Apalagi masyarakat yang menggantungkan penghasilan pada usaha harian seperti buruh, pedagang kecil, petani, nelayan, sopir angkot, sopir taksi, gojek, abang bentor dan lain-lain.

Yang perlu diperhatikan setelah penerapan PSBB ialah dampak sosial. Fenomena meningkatnya angka kriminal harus disikapi dengan serius. Boleh jadi, ini ancaman tersendiri di masa pandemi. Hanya saja fenomena ini harus disikapi dengan bijak. Tidak semua pelaku kriminal berniat untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji ini. Kondisilah menyebabkan mereka begitu. Tetapi ada juga pelaku kriminal yang memang keseharian bergelut dengan aktifitas seperti ini. Ketemu momen yang tepat mereka melancarkan aksinya.  Kepada mereka mungkin berbeda perlakuan bila dibandingkan dengan pelaku kriminal  karena faktor ekonomi keluarga.

Apalagi di masa pendemi seperti ini, banyak gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahan. Perusahan merasa rugi jika mempekerjakan karyawan terus menerus, sementara kondisi keungan perusahan anjlok dan tidak mampu membayar gaji karyawan. Akhirnya pilihan yang diambil adalah PHK.

Hal yang terpenting dalam penerapan PSBB adalah konsistensi masyarakat menjaga jarak dan menghindari kerumunan orang banyak. Tetap tinggal dan bekerja di rumah serta disiplin menaati protokol kesehatan tentang pencegahan penularan Covid-19.

Untuk tinggal di rumah bagi kalangan tertentu mungkin bisa. Mereka-mereka yang memiliki penghasilan tetap perbulan dan memiliki tabungan yang cukup mungkin tidak masalah. Tetapi bagi mereka yang mengandalkan penghasilan pada usaha harian, ini menjadi soal. Karena bagi mereka, tidak keluar rumah berarti tidak makan. Tidak makan berarti ancaman kelaparan dan kematian menanti. Kalaupun mengandalkan bantuan dari negara belumlah cukup. Sehingga tidaklah mengherankan sering kita mendengar kalimat “di luar rumah mati karena corona dan di rumah mati karena lapar”.

Begitupun bagi masyarakat yang gemar beribadah di tempat-tempat ibadah, apalagi umat islam di bulan puasa. Bagi mereka masjid merupakan tempat yang tepat untuk ibadah berjamaah. Kepada mereka mungkin pemerintah mengalami kendala untuk memindahkan ibadah yang dulunya di masjid kemudian pindahkan ke rumah masing-masing. Karena ini berkaitan dengan psikologi dan sensifitas keberagamaan. Dalam konteks ini tidaklah mengherankan kita menyaksikan “pemblokiran jalan oleh masyarakat karena dilarang  pemerintah shalat tarawih berjamah di masjid”.

Masih adanya masyarakat yang kurang memperdulikan protokol kesehatan tentang pencegahan penularan Covid-19 di atas, seperti tidak disiplin menjaga jarak, sering keluar rumah walaupun tidak terlalu penting,  kumpul bersama teman-teman, mencari nafkah di luar rumah dan sering beribadah bersama-sama di tempat ibadah merupakan kendala bagi pemerintah untuk memutus mata rantai penularan virus ini. Faktor penyebab diantaranyai:

Pertama, mindset masyarakat terhadap virus ini belum totalitas. Kesadaran bahwa Covid-19 adalah musuh bersama umat manusia perlu digalakan baik oleh pemerintah, tenaga kesehatan (dokter dan perawat) maupun relawan. Menurut penulis jika stigma ini dikampanyekan secara masif pada seluruh masyarakat, maka lambat laun mereka akan sadar. Apalagi bukti empirik tentang jumlah korban disuguhkan, baik korban sakit maupun korban meninggal dunia. Perlu pula ditekankan bagaimana mensiasati hidup di masa-masa pendemi serta menanamkan kesadaran kolektif kepada masyarakat pentingnya sikap optimis menghadapi Covid-19.

Kedua, implementasi kebijakan pencegahan penularan Covid-19 masih bersifat top-down. Amatan penulis terkadang pemerintah, tenaga kesehatan dan relawan sulit mengendalikan mobilitas masyarakat. Hal ini terjadi seolah-olah tanggungjawab pencegahan virus ini hanya pada kelompok tertentu. Padahal virus ini adalah ancaman bersama. Oleh karena itu, perlu implementasi kebijakan yang bersifat bottom-up yakni keterlibatan seluruh elemen masyarakat pada pencegahan penularan virus ini. Misalnya pada tingkat desa/kelurahan, mencegah masyarakat keluar rumah untuk hal-hal yang tidak penting, peran tokoh masyarakat maupun tokoh adat sangat dibutuhkan. Sebab biasanya di daerah maupun di desa/kelurahan  wibawa tokoh masyarakat dianggap lebih dari pemerintah. Begitupula untuk sementara waktu memindahkan ibadah ke rumah masing-masing,  pada level ini peran tokoh agama setempat sangatlah diharapkan.

Ketiga, masih ada kelompok orang yang belum move on politik baik tingkat pusat maupun daerah karena kalah pada pilpres maupun pilkada.  Wacana yang kurang produktif di media sosial sering disajikan. Anggapan bahwa pemerintah melakukan pencitraan ketika menunjukan empati kepada masyarakat masih sering digaungkan oleh barisan sakit hati. Pada kelompok ini ungkapan yang tepat adalah kalian berjuang untuk siapa. Oleh karena itu, sudahilah perilaku politik yang tidak baik. Bila ingin berkontestasi politik belum waktunya sekarang. Pada sisi ini penulis teringat ungkapan Bung Karno “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Akhirnya, semoga  dunia dan negeri ini segera terbebas dari Covid-19 dan kita akan beraktifitas kembali sebagaimana biasanya. Semoga bermanfaat.