Virus dan Sekolah

Iklan Semua Halaman

Iklan

Virus dan Sekolah

FKMM Gorontalo
Jumat, 15 Mei 2020


Cerita tentang kerinduan banyak terjadi. Kasusnya berbeda-beda. Di Kokomo Indiana, Amerika Serikat kita bisa belajar dari seorang anak pemberani bernama Ryan Whyne White. Dia rindu sekolah namun keadaan tidak mendukung.  Kisah inspiratifnya ditulis dengan gaya bahasa yang mudah dipahami oleh Sifah Nur (2015) dalam “Buah-Buah Keberanian” .

Meski dalam cerita itu Ryan berhasil sekolah, namun perjuangan mencapai hal tersebut harus dilalui dengan tarikan nafas panjang yang berulang-ulang. Sikap-sikap diskriminasi hadir dari banyak kalangan. Siswa dan orang tua turut mengasingkan. Jelasnya, Ryan merasakan kesendirian di tengah kerumunan.

Ada apa dengan Ryan? Penyakit Hemofilia A adalah jawabannya. Penyakit ini diderita sejak usia 3 tahun. Puncaknya, pada Desember 1984, badannya panas, sang ibu, Jeanne White membawanya ke rumah sakit. Dokter mendiagnosis, bahwa sistem imunnya demikian lemah. Ada virus di dalam tubuh Ryan. Ia mengidap penyakit AIDS.

Kemauan untuk sekolah, dengan keadaan penyakit yang diderita membuat anak itu mengalami banyak penolakan. Alasan kuat karena ditakutkan penyakit yang dideritanya mengganggu keselamatan orang lain. Begitulah kisah  pilu anak muda dari Amerika itu. Keberanian dan keinginannya yang kuat untuk sekolah patut dijadikan rujukan.

Kembali ke Sekolah
Terbukti, virus membuat kita berjarak. Kisah inspiratif Ryan di atas adalah satu dari sekian banyak contoh. Bahkan di lembaga pendidikan bernama sekolah ia mengalami penolakan. Meski begitu, virus memberi banyak pelajaran. Di situasi seperti yang kita rasakan saat ini, peneliti, petugas kesehatan, TNI/Polri, pemerintah dan masyarakat bekerja ekstra. Semua serba diatur. Bahkan siapa saja yang tidak biasa memakai masker dan mencuci tangan, sekarang harus dibiasakan.

Di dunia pendidikan, sekolah-sekolah ditutup, siswa diliburkan. Kemerdekaan belajar -- yang sebelumnya banyak disebut-sebut-- diuji di tengah pandemi. Atmosfer pendidikan di rumah mendapatkan tantangan berat. Bila tidak disikapi dengan baik, kondisi ini hanya akan memproduksi dan menumpukkan rasa malas. Akibatnya, produktifitas tersumbat. Kemampuan berfikir akan berkarat.

Fenomena ini menegaskan kembali nasehat lama, bahwa berlebih-lebihan tidak baik. Dulu, libur pemicu kebahagiaan, tetapi saat ini berbeda. Tidak sedikit yang merasakan, terlalu banyak libur justru memicu kejenuhan. Penyebabnya beragam, bagi anak-anak salah satu kejenuhan karena tidak lagi bertemu dengan teman bermain.

Saya demikian yakin, secanggih apapun teknologi yang digunakan ketika belajar dari rumah, tidak dapat mengalahkan kebahagiaan anak-anak ketika bermain/belajar bersama teman di sekolah. Hal ini wajar, sebab di sekolah ada ikatan-ikatan emosional dan hubungan pertemanan yang terjadi di setiap aktivitas.

Hal ini bisa kita amati, terutama di tingkatan sekolah dasar. Bukankah dari “Luar Pagar Sekolah” kita bisa melihat bagaimana anak-anak bermain, memanjat pohon, bernyanyi dan tak jarang ada yang sampai menangis. Semua ini tidak lebih dari sebuah ekspresi diri. Anak-anak membutuhkan ruang. Di rumah, meskipun tersedia ruang namun menjadi hampa bila tidak ada teman, apalagi kondisi itu terjadi dalam jangka waktu yang lama.

Membuka Pintu Sekolah
Beberapa negara, sudah mulai membuka sekolah setelah kasus Covid-19 menurun. Di Wuhan, sebagai daerah awal ditemukannya virus telah mengizinkan siswa SMA kembali sekolah. Meski begitu jarak tetap dijaga. Manajemen kelas dilakukan seperti, penataan bangku dan meja, penggunaan masker dan  pengecekan suhu tubuh. Bahkan seluruh siswa dan staf harus menjalani tes corona sebelum kembali ke sekolah. Upaya ini dilakukan sebagai normalisasi kehidupan masyarakat di Wuhan (CNN, Rabu/06/05/2020).

Bagaimana dengan Indonesia? Kapan anak-anak bisa sekolah? Itu pertanyaan pamungkas. Belakangan terdengar kabar sekolah akan beroperasi di bulan Juli. Meski demikian banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Pasalnya, di jam-jam tertentu selama di sekolah, akan ada aktivitas yang tidak bisa dikontrol. Terutama di jam-jam istirahat, anak-anak bisa bermain dengan siapa saja dan menyentuh apa saja.

Bukan hanya itu, tidak menutup kemungkinan akan ada beban psikologis yang dirasakan oleh anak-anak. Mereka bisa khawatir dengan keadaan di sekitarnya. Cemas bila melihat orang batuk dll. Akibatnya, meski sekolah sudah dibuka, atmosfer belajar/bermain tidak kondusif. Akan terasa kaku. Kebebasan bergerak tidak seperti sebelumnya. Keceriaan bisa saja hadir, tapi setengah-setengah.

Jika sekolah kembali dibuka. Peran guru, orang tua, satpam sekolah, petugas kebersihan sangat krusial. Tantangan terberatnya di sekolah dasar, terutama di kelas 1 dan 2. Sudah menjadi kodrat mereka untuk selalu bermain, kejar-kejaran, bahkan menganggu teman. Yang dibutuhkan tidak hanya pesan peringatan. Manajemen situasi perlu dirancang, terutama di waktu-waktu yang berpotensi memicu keramaian. Lagi-lagi kita dituntut berfikir!!!




Penulis: Moh. Rezki Daud*
*Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Gorontalo
Kader FKMM 2020