Cerita
tentang kerinduan banyak terjadi. Kasusnya berbeda-beda. Di Kokomo Indiana,
Amerika Serikat kita bisa belajar dari seorang anak pemberani bernama Ryan
Whyne White. Dia rindu sekolah namun keadaan tidak mendukung. Kisah inspiratifnya ditulis dengan gaya
bahasa yang mudah dipahami oleh Sifah Nur (2015) dalam “Buah-Buah Keberanian” .
Meski
dalam cerita itu Ryan berhasil sekolah, namun perjuangan mencapai hal tersebut
harus dilalui dengan tarikan nafas panjang yang berulang-ulang. Sikap-sikap
diskriminasi hadir dari banyak kalangan. Siswa dan orang tua turut
mengasingkan. Jelasnya, Ryan merasakan kesendirian di tengah kerumunan.
Ada
apa dengan Ryan? Penyakit Hemofilia A adalah jawabannya. Penyakit ini diderita
sejak usia 3 tahun. Puncaknya, pada Desember 1984, badannya panas, sang ibu,
Jeanne White membawanya ke rumah sakit. Dokter mendiagnosis, bahwa sistem
imunnya demikian lemah. Ada virus di dalam tubuh Ryan. Ia mengidap penyakit
AIDS.
Kemauan untuk sekolah, dengan keadaan
penyakit yang diderita membuat anak itu mengalami banyak penolakan. Alasan kuat
karena ditakutkan penyakit yang dideritanya mengganggu keselamatan orang lain. Begitulah
kisah pilu anak muda dari Amerika itu.
Keberanian dan keinginannya yang kuat untuk sekolah patut dijadikan rujukan.
Kembali
ke Sekolah
Terbukti,
virus membuat kita berjarak. Kisah inspiratif Ryan di atas adalah satu dari
sekian banyak contoh. Bahkan di lembaga pendidikan bernama sekolah ia mengalami
penolakan. Meski begitu, virus memberi banyak pelajaran. Di situasi seperti yang
kita rasakan saat ini, peneliti, petugas kesehatan, TNI/Polri, pemerintah dan
masyarakat bekerja ekstra. Semua serba diatur. Bahkan siapa saja yang tidak
biasa memakai masker dan mencuci tangan, sekarang harus dibiasakan.
Di
dunia pendidikan, sekolah-sekolah ditutup, siswa diliburkan. Kemerdekaan
belajar -- yang sebelumnya banyak disebut-sebut-- diuji di tengah pandemi.
Atmosfer pendidikan di rumah mendapatkan tantangan berat. Bila tidak disikapi
dengan baik, kondisi ini hanya akan memproduksi dan menumpukkan rasa malas. Akibatnya,
produktifitas tersumbat. Kemampuan berfikir akan berkarat.
Fenomena
ini menegaskan kembali nasehat lama, bahwa berlebih-lebihan tidak baik. Dulu,
libur pemicu kebahagiaan, tetapi saat ini berbeda. Tidak sedikit yang
merasakan, terlalu banyak libur justru memicu kejenuhan. Penyebabnya beragam,
bagi anak-anak salah satu kejenuhan karena tidak lagi bertemu dengan teman
bermain.
Saya
demikian yakin, secanggih apapun teknologi yang digunakan ketika belajar dari
rumah, tidak dapat mengalahkan kebahagiaan anak-anak ketika bermain/belajar
bersama teman di sekolah. Hal ini wajar, sebab di sekolah ada ikatan-ikatan
emosional dan hubungan pertemanan yang terjadi di setiap aktivitas.
Hal ini bisa kita amati, terutama di
tingkatan sekolah dasar. Bukankah dari “Luar Pagar Sekolah” kita bisa melihat
bagaimana anak-anak bermain, memanjat pohon, bernyanyi dan tak jarang ada yang
sampai menangis. Semua ini tidak lebih dari sebuah ekspresi diri. Anak-anak
membutuhkan ruang. Di rumah, meskipun tersedia ruang namun menjadi hampa bila
tidak ada teman, apalagi kondisi itu terjadi dalam jangka waktu yang lama.
Membuka
Pintu Sekolah
Beberapa
negara, sudah mulai membuka sekolah setelah kasus Covid-19 menurun. Di Wuhan,
sebagai daerah awal ditemukannya virus telah mengizinkan siswa SMA kembali
sekolah. Meski begitu jarak tetap dijaga. Manajemen kelas dilakukan seperti, penataan
bangku dan meja, penggunaan masker dan
pengecekan suhu tubuh. Bahkan seluruh siswa dan staf harus menjalani tes
corona sebelum kembali ke sekolah. Upaya ini dilakukan sebagai normalisasi
kehidupan masyarakat di Wuhan (CNN, Rabu/06/05/2020).
Bagaimana
dengan Indonesia? Kapan anak-anak bisa sekolah? Itu pertanyaan pamungkas.
Belakangan terdengar kabar sekolah akan beroperasi di bulan Juli. Meski
demikian banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Pasalnya, di jam-jam tertentu
selama di sekolah, akan ada aktivitas yang tidak bisa dikontrol. Terutama di
jam-jam istirahat, anak-anak bisa bermain dengan siapa saja dan menyentuh apa
saja.
Bukan
hanya itu, tidak menutup kemungkinan akan ada beban psikologis yang dirasakan
oleh anak-anak. Mereka bisa khawatir dengan keadaan di sekitarnya. Cemas bila
melihat orang batuk dll. Akibatnya, meski sekolah sudah dibuka, atmosfer
belajar/bermain tidak kondusif. Akan terasa kaku. Kebebasan bergerak tidak
seperti sebelumnya. Keceriaan bisa saja hadir, tapi setengah-setengah.
Jika
sekolah kembali dibuka. Peran guru, orang tua, satpam sekolah, petugas
kebersihan sangat krusial. Tantangan terberatnya di sekolah dasar, terutama di
kelas 1 dan 2. Sudah menjadi kodrat mereka untuk selalu bermain, kejar-kejaran,
bahkan menganggu teman. Yang dibutuhkan tidak hanya pesan peringatan. Manajemen
situasi perlu dirancang, terutama di waktu-waktu yang berpotensi memicu
keramaian. Lagi-lagi kita dituntut berfikir!!!
Penulis:
Moh. Rezki Daud*
*Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Gorontalo
Kader FKMM 2020