KITA DAN KEDAMAIAN

Iklan Semua Halaman

Iklan

KITA DAN KEDAMAIAN

FKMM Gorontalo
Sabtu, 15 Agustus 2020

 

- Rasid Yunus


Artikel ini dipersembahkan untuk memeriahkan dirgahayu Republik Indonesia yang ke-75, yakni 17 Agustus 2020. Isinya memuat tentang beberapa peristiwa yang terjadi dibelahan dunia dalam konteks kekinian, beberapa peristiwa di Indonesia, serta harapan-harapan agar bangsa ini tetap jaya. Selanjutnya, selamat membaca.

 

Kata “kedamaian” merupakan kata yang mudah diucapkan tetapi rasanya mahal untuk diimplentasikan. Dalam tataran global kedamian merupakan kebutuhan yang mendesak saat ini, karena banyak kebijakan di dunia implikasinya jauh dari kedamaian.

 

Sebagai contoh pembangunan tembok  di perbatasan Amerika dan Meksiko, protek yang ketat terhadap umat muslim ketika masuk ke Amerika Serikat. Pada umumnya rakyat Amerika sangat menentang kebijakan Donald Trump ini, karena dianggap menciderai hubungan baik antar sesama negara.

 

Di Prancis, protes warga yang menuntut agar pembatalan kebijakan yang memangkas pajak barang mewah, dan memberlakukan pajak BBM yang menyebabkan naiknya harga BBM. Tuntutan warga tentu dialamatkan pada presidennya Emmanuel Macron. Kelompok rakyat menggunakan atribut rompi kuning dan beranggotakan orang-orang yang tinggal di pinggiran kota. Mereka menyampaikan frustrasi mengenai standar hidup mereka yang menurun.

 

Di sebagian Eropa terfokus pada fenomena “Brexit”. Brexit terdiri dari kata Britain exit. Sementara referendum brexit adalah  pemungutan suara dari seluruh warga negara Inggris, Irlandia Utara, Wales dan Skotlandia (negara-negara Britania Raya) untuk keluar dari keanggotaan negara-negara Uni Eropa. Banyak alasan yang diutarakan, salah satunya adalah Uni Eropa menjadi beban bagi Inggris terkait imigran.

 

Di Venezuela mengalami krisis politik yang mengarah pada level parah, yang dipicu oleh krisis ekonomi. Industri minyak dikerjakan tanpa keahlian khusus dan utang kepada Rusia dan China dikhawatirkan tak mampu untuk dibayar. Padahal negara ini memiliki cadangan minyak mentah terbesar di dunia.

 

Di Suriah konflik yang sudah bertahun-tahun, yang dipicu oleh kurang mampunya mengelola kelompok sektarian sehingga menyebabkan perang saudara dan akhirnya menjadi perlombaan senjata bagi negara-negara adikuasa dunia.

 

Dalam konteks Indonesia, peristiwa yang jauh dari kata kedamaian juga terjadi. Jika diamati di era orde lama, banyak prasangka yang sering dialamatkan pada pemerintah saat itu. Mulai dari krisis ekonomi, keterlibatan pemerintah pada komunis sampai puncaknya pada gerakan 30 September 1965 yang menyebabkan rezim orde lama tumbang.

 

Pada saat rezim orde baru, hal yang serupa juga terjadi. Dimana keluarga rezim sebelumnya tidak diberi akses menjalani kehidupan yang layak seperti warga negara biasanya. Penghilangan jejak-jejak sejarah dan pengaruh rezim sebelumnya, sampai pada perlakuan yang tidak wajar terhadap presiden sebelumnya diakhir hayatnya.

 

Di zaman reformasi juga melakukan hal yang sama, kebijakan yang diambil diantaranya penghilangan penyebaran secara utuh ideologi pancasila, penghilangan haluan negara. Akibatnya negara berjalan seolah tanpa haluan.

 

Akhirnya, baru sadar ketika terjadi fenomena perilaku buruk warga negara yang salah satu pemicunya adalah kurangnya pemahaman terhadap pancasila. Olehnya, timbullah kesadaran bahwa ideologi pancasila haruslah dilaksanakan secara murni dan konsekwen di seluruh lapisan masyarakat.

 

Memang, menghilangkan jejak lama yang positif dan herois tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Zaman orde baru tumbang, salah satu tokoh yang menjadi otaknya adalah keluarga rezim orde lama. Begitupun era reformasi, agak sulit menghilangkan pengaruh rezim orde baru.

 

Sebagai bukti, kontroversi pemberian pahlawan nasional kepada pemimpin orde baru, ada yang kontra tapi tidak sedikit juga yang pro. Itu artinya, pengaruh orde baru masih mewarnai perpolitikan di era reformasi. Apalagi elit politik saat ini (era reformasi), masih diwarnai oleh tokoh-tokoh yang dulunya didik oleh rezim orde baru.

 

Peristiwa di atas, merupakan bukti ketidakmampuan dalam menjaga kedamaian, tanpa mengabaikan intervensi negara lain terhadap keberlangsungan konflik dan peristiwa tersebut. Kedamaian sesungguhnya adalah hak asasi, baik hak asasi individu, kelompok bahkan hak asasi  negara.

 

Artinya, kedamaian mutlak diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedamaian akan mendatangkan ketertiban dan keteraturan, dan itu sangatlah dibutuhkan dalam melangsungkan proses kehidupan.

 

Yang menarik dalam menyikapi kedamaian ialah bukan hanya terfokus pada kedamaian sosial-kemasyarakatan, tetapi yang paling penting adalah kedamaian personal. Semua konflik tidak akan terjadi manakala individu mampu menjaga kedamaian dalam dirinya.

 

Berdamai dengan diri sendiri mungkin merupakan sesuatu yang sulit, tetapi itulah kunci dari kedamaian sosial-kemasyarakatan. Ketika kita mempelajari tipologi konflik, secara matang kita berkesimpulan bahwa dalam konflik pasti ada aktor, dan aktor itulah yang dikendalikan oleh individu walaupun mekanisme kerjanya secara berkelompok.

 

Sudah saatnya berdamai dengan diri sendiri. Ketika melihat realitas kehidupan, apalagi Indonesia yang sering melaksanakan hajatan demokrasi baik pada level eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

 

Hajatan ini terkadang pemicu terjadinya resistensi diantara masyarakat karena beda pilihan. Padahal urusannya hanyalah sepele yakni memilih pemimpin baru, dan siklusnya hanyalah sebentar. Pertanyaannya adalah apakah hanya lantaran beda pilihan lantas memutuskan tali persaudaraan, pertemanan, kebersamaan sebuah bangsa yang sudah terbina bertahun-tahun?

 

Betapa sedih membayangkan, seandainya konflik yang berskala besar terjadi pasca hajatan demokrasi yang disebabkan oleh perbedaan pilihan. Mungkin orang yang berbeda pilihan ini paham betul bahwa perbedaan itu adalah hal yang wajar dan sunatullah. Tetapi karena memandang  salah orang lain, maka ujung-ujungnya adalah konflik.

 

Dalam perkembangannya, memandang orang lain salah biasa dikenal dengan istilah stereotipe (pelabelan negatif pada orang lain). Ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya stereotipe. Pertama, sebagai manusia kita cenderung membagi dunia ke dalam dua kategori “kita dan mereka”. Karena kita kekurangan informasi mengenai mereka, kita cenderung menyamaratakan mereka semua.

 

Kedua, stereotipe tampaknya bersumber dari kecenderungan kita untuk melakukan kerja kognitif sedikit mungkin dalam berpikir mengenai orang lain. Dengan kata lain, stereotipe menyebabkan persepsi selektif tentang orang-orang dan segala sesuatu di sekitar kita. Stereotipe dapat membuat informasi yang kita terima tidak akurat.

 

Pada umumnya, stereotipe bersifat negatif. Stereotipe tidak berbahaya sejauh kita simpan di kepala kita, namun akan berbahaya bila diaktifkan dalam hubungan manusia. Stereotipe dapat menghambat atau mengganggu komunikasi itu sendiri. Dalam konteks komunikasi lintas budaya misalnya, kita melakukan persepsi stereotipe terhadap orang yang berbeda budaya dengan kita, tanpa memandang pribadi atau keunikan masing-masing individu.

 

Begitu pula dalam memandang orang yang berbeda pilihan politik, selalu dianggap salah, padahal orang  yang dianggap salah ini diketahui memiliki integritas dan intelektualitas yang matang.

 

Saat ini dan kedepan, rajutlah kebersamaan dalam membangun daerah dan negeri ini. Sebab sadar atau tidak bahwa semua kita yang hidup saat ini, telah menerima amanah dari generasi pendahulu, yakni bertanggung jawab menjaga keseimbangan sosial demi keberlangsungan hidup generasi yang akan datang. Apalagi kondisi dunia sekarang yang dilanda wabah Covid-19, yang membutuhkan kolektifitas kebangsaan untuk keluar dari krisis wabah ini.

 

Generasi terdahulu telah berhasil membawa kita ke realitas hidup sekarang. Tugas kita adalah memastikan generasi yang akan datang (anak cucu) mendapatkan warisan dan kehidupan yang layak. Kita tidak ingin bahwa anak cucu nanti  mencela kita semua, hanya lantaran tidak mampu mengendalikan diri dalam menyikapi perbedaan. Untuk itu, marilah berdamai dengan diri sendiri agar kedamaian sosial tetap terjaga.

 

Akhirnya, dirgahayu Republik Indonesia yang ke-75 ditengah wabah Covid-19. Untuk anak-anak bangsa sisingkan lengan bajumu, mari berbuat kebaikan sesuai kemampuan dan sesuai tantangan zamanmu. Jayalah bangsaku. Semoga bermanfaat.