Keyakinan
Adalah hak, yang tidak bisa di kebiri bahkan seorang presiden sekalipun.
Sejatinya keyakinan adalah bagian dari prinsip hidup, yang ditanamkan sejak
lahir hingga maut menjemput. Itulah yang menjadi dasar kerangka tulisan ini
hadir untuk membuka cakrawala berfikir bahwa, yang di inginkan masyarakat di
tengah pandemi adalah kepastian bukan kecemasan. Mengutip ungkapan Soekarno
bahwa " Setiap bangsa memiliki cara pandang yang berbeda". Kutipan singkat
Soekarno memberikan makna bahwa setiap bangsa/negara memiliki cara untuk
menyelesaikan masalah yang berbeda dengan prinsip berdasarkan asas yang berlaku
di setiap negara itu sendiri. Pada prinsipnya Indonesia tidak bisa disamakan
dengan China begitupun China tidak bisa di samakan dengan Indonesia, karena
variasi keyakinan serta kepentingan tentu berbeda.
Hal ini tentu bisa kita lihat
bahwa Indonesia adalah negara majemuk yang memiliki corak suku yang
berbeda serta keyakinan yang bervariasi. Dalam hal ini pandangan penulis
terhadap vaksin di tengah pandemi tentu bertentangan dengan keyakinan
masyarakat. Yang pertama, vaksin bersifat memaksa, artinya kebijakan vaksin tidak memandang yang sakit maupun yang
sehat. Dan bahkan siapapun yang menolak untuk di vaksin akan di kenakan denda,
Sehingga vaksin ini terkesan memaksa
bagi setiap personal yang awam. Logiknaya tidak ada satupun personal yang awam
mau di beri obat di saat dia dalam keadaan sehat. Fikiran-fikiran yang awam
itulah yang menjadi kecemasan bahwa vaksin menentang keyakinan. Ketika dia
meyakini vaksin bukan jawaban dari berakhirnya covid-19, kemudian di paksa dan
di ancam akan di kenakan denda, lantas dimana letak keadilan yang menghargai
setiap keyakinan seseorang, sedangkan kita tahu bersama bahwa negara Indonesia
adalah negara yang meunjung asas yang sangat menghargai setiap keyakinan yang
tertuang dalam amendemenn UUD 1945.
Dalam konteks
keyakinan itu bisa dilihat dalam beberapa indikator :
1. Keyakinan
logikal dan non-logikal. Keyakinan yang sama sekali tidak terdapat keraguan di
dalamnya atau keyakinan yang memuncak disebut dengan keyakinan logikal.
Keyakinan yang masih menyisakan bentuk-bentuk keraguan merupakan suatu
keyakinan yang non-logikal;
2. Keyakinan
hakiki dan non-hakiki (merasa mengetahui). Kalau keyakinan itu bersesuaian
dengan realitas maka dinamakan keyakinan hakiki dan logikal. Apabila tidak
demikian, maka dikategorikan ke dalam bentuk keyakinan yang non-hakiki;
3. 'Ilm
al-yaqin, 'ain al-yaqin, haqq al-yaqin. Keyakinan pertama berhubungan dengan
pengetahuan universal dan teoritis. Dan keyakinan kedua berkaitan dengan
pengetahuan- pengetahuan intuitif dan penyaksian (musyahadah) hakikat-hakikat
segala sesuatu. Serta keyakinan ketiga merupakan keyakinan yang tertinggi dimana
tidak terdapat jarak lagi antara subjek yang mengetahui ('alim) dan objek yang
diketahui (ma'lum dan hakikat-hakikat sesuatu), atau dengan ungkapan lain,
terwujudnya kesatuan eksistensial antara 'alim dan ma'lum;
4. Keyakinan
orang awam, para filosof, dan urafa. Keyakinan-keyakinan ini bertingkat-tingkat
dalam kualitas sesuai dengan landasan dan dasar pengetahuan- pengetahuan
mereka.
5. Keyakinan
taklidi dan ijtihadi. Keyakinan yang dihasilkan dari mengikuti dan taklid pada
seseorang yang dipercayai disebut dengan keyakinan taklidi. Sementara keyakinan
yang digapai dari proses-proses usaha dan aktivitas observasi individual
dinamakan dengan keyakinan ijtihadi;
6. Keyakinan
ontologis dan epistemologis. Keyakinan ontologis adalah suatu keyakinan yang
berhubungan dengan eksistensi dan realitas alam wujud, sementara keyakinan
epistemologis merupakan sejenis keyakinan yang berkaitan dengan proses
pencapaian dan penggapain suatu pengetahuan dan makrifat yang sesuai dengan
realitas dan hakikat sesuatu;
7. Keyakinan
indrawi, rasional, intuitif, dan tekstual. Tingkatan-tingkatan yang terdapat
pada keyakinan-keyakinan seperti ini sangat ditentukan oleh media-media dan
alat-alat yang menjadi sumber dan asal keyakinan dan pengetahuan itu.
Pada poin
empat bisa dilihat bahwa, keyakinan orang awam itu bertingkat yang di dasarkan
pada pengetahuanya, artinya vaksin bagi orang awam menimbulkan tafisran yanag
berbeda, ada yang menganggap itu adalah obat anti body, tapi sebagian
menganggap bahwa vaksin adalah hanya menambah beban kecemasan.
Terlepas dari dilema Keyakinan terhadap
vaksin, tentunya vaksin memiliki tujuan yang positif, hanya saja negara tidak
bisa mengkebiri keyakinan seseorang ketika dia tidak yakin atas apa yang
dilakukan terhadap dirinya. intinya Perlu ada keseimbangan proses sosialisasi
yang di mulai dari tingkat bawah sampai pada tingkatan yang paling atas.
Artinya peran setiap instansi pemerintahan yang di mulai dari sosialisasi dari
tingkat desa sangat di perlukan untuk
membuka cakrawala berfikir untuk orang yang awam "masyarakat yang belum
tau apa tujuan dari vaksin it sendiri".
Sehingga
penulis merekomendasikan kepada pemerintah, agar proses sosialisasi vaksin di
lakukan secara serentak yang dimuali dari tingkat bawah (Desa).
Penulis : Yayan Sahi