Dilema Keyakinan Terhadap Vaksin Covid -19

Iklan Semua Halaman

Iklan

Dilema Keyakinan Terhadap Vaksin Covid -19

FKMM Gorontalo
Selasa, 19 Januari 2021

 

Keyakinan Adalah hak, yang tidak bisa di kebiri bahkan seorang presiden sekalipun. Sejatinya keyakinan adalah bagian dari prinsip hidup, yang ditanamkan sejak lahir hingga maut menjemput. Itulah yang menjadi dasar kerangka tulisan ini hadir untuk membuka cakrawala berfikir bahwa, yang di inginkan masyarakat di tengah pandemi adalah kepastian bukan kecemasan. Mengutip ungkapan Soekarno bahwa " Setiap bangsa memiliki cara pandang yang berbeda". Kutipan singkat Soekarno memberikan makna bahwa setiap bangsa/negara memiliki cara untuk menyelesaikan masalah yang berbeda dengan prinsip berdasarkan asas yang berlaku di setiap negara itu sendiri. Pada prinsipnya Indonesia tidak bisa disamakan dengan China begitupun China tidak bisa di samakan dengan Indonesia, karena variasi keyakinan serta kepentingan tentu berbeda.

     Hal ini tentu bisa kita  lihat  bahwa Indonesia adalah negara majemuk yang memiliki corak suku yang berbeda serta keyakinan yang bervariasi. Dalam hal ini pandangan penulis terhadap vaksin di tengah pandemi tentu bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Yang pertama, vaksin bersifat memaksa, artinya kebijakan  vaksin tidak memandang yang sakit maupun yang sehat. Dan bahkan siapapun yang menolak untuk di vaksin akan di kenakan denda, Sehingga vaksin ini terkesan  memaksa bagi setiap personal yang awam. Logiknaya tidak ada satupun personal yang awam mau di beri obat di saat dia dalam keadaan sehat. Fikiran-fikiran yang awam itulah yang menjadi kecemasan bahwa vaksin menentang keyakinan. Ketika dia meyakini vaksin bukan jawaban dari berakhirnya covid-19, kemudian di paksa dan di ancam akan di kenakan denda, lantas dimana letak keadilan yang menghargai setiap keyakinan seseorang, sedangkan kita tahu bersama bahwa negara Indonesia adalah negara yang meunjung asas yang sangat menghargai setiap keyakinan yang tertuang dalam amendemenn UUD 1945.

 

Dalam konteks keyakinan itu bisa dilihat dalam beberapa indikator :

1. Keyakinan logikal dan non-logikal. Keyakinan yang sama sekali tidak terdapat keraguan di dalamnya atau keyakinan yang memuncak disebut dengan keyakinan logikal. Keyakinan yang masih menyisakan bentuk-bentuk keraguan merupakan suatu keyakinan yang non-logikal;

2. Keyakinan hakiki dan non-hakiki (merasa mengetahui). Kalau keyakinan itu bersesuaian dengan realitas maka dinamakan keyakinan hakiki dan logikal. Apabila tidak demikian, maka dikategorikan ke dalam bentuk keyakinan yang non-hakiki;

3. 'Ilm al-yaqin, 'ain al-yaqin, haqq al-yaqin. Keyakinan pertama berhubungan dengan pengetahuan universal dan teoritis. Dan keyakinan kedua berkaitan dengan pengetahuan- pengetahuan intuitif dan penyaksian (musyahadah) hakikat-hakikat segala sesuatu. Serta keyakinan ketiga merupakan keyakinan yang tertinggi dimana tidak terdapat jarak lagi antara subjek yang mengetahui ('alim) dan objek yang diketahui (ma'lum dan hakikat-hakikat sesuatu), atau dengan ungkapan lain, terwujudnya kesatuan eksistensial antara 'alim dan ma'lum;

4. Keyakinan orang awam, para filosof, dan urafa. Keyakinan-keyakinan ini bertingkat-tingkat dalam kualitas sesuai dengan landasan dan dasar pengetahuan- pengetahuan mereka.

5. Keyakinan taklidi dan ijtihadi. Keyakinan yang dihasilkan dari mengikuti dan taklid pada seseorang yang dipercayai disebut dengan keyakinan taklidi. Sementara keyakinan yang digapai dari proses-proses usaha dan aktivitas observasi individual dinamakan dengan keyakinan ijtihadi;

6. Keyakinan ontologis dan epistemologis. Keyakinan ontologis adalah suatu keyakinan yang berhubungan dengan eksistensi dan realitas alam wujud, sementara keyakinan epistemologis merupakan sejenis keyakinan yang berkaitan dengan proses pencapaian dan penggapain suatu pengetahuan dan makrifat yang sesuai dengan realitas dan hakikat sesuatu;

7. Keyakinan indrawi, rasional, intuitif, dan tekstual. Tingkatan-tingkatan yang terdapat pada keyakinan-keyakinan seperti ini sangat ditentukan oleh media-media dan alat-alat yang menjadi sumber dan asal keyakinan dan pengetahuan itu.

Pada poin empat bisa dilihat bahwa, keyakinan orang awam itu bertingkat yang di dasarkan pada pengetahuanya, artinya vaksin bagi orang awam menimbulkan tafisran yanag berbeda, ada yang menganggap itu adalah obat anti body, tapi sebagian menganggap bahwa vaksin adalah hanya menambah beban kecemasan.

     Terlepas dari dilema Keyakinan terhadap vaksin, tentunya vaksin memiliki tujuan yang positif, hanya saja negara tidak bisa mengkebiri keyakinan seseorang ketika dia tidak yakin atas apa yang dilakukan terhadap dirinya. intinya Perlu ada keseimbangan proses sosialisasi yang di mulai dari tingkat bawah sampai pada tingkatan yang paling atas. Artinya peran setiap instansi pemerintahan yang di mulai dari sosialisasi dari tingkat desa sangat  di perlukan untuk membuka cakrawala berfikir untuk orang yang awam "masyarakat yang belum tau apa tujuan dari vaksin it sendiri".

Sehingga penulis merekomendasikan kepada pemerintah, agar proses sosialisasi vaksin di lakukan secara serentak yang dimuali dari tingkat bawah (Desa).


Penulis : Yayan Sahi