BELAJAR
MERDEKA
Manusia
Indonesia di masa sekarang (era modern) masih banyak merasakan penjajahan.
Memang di masa kini sudah tidak ada lagi perang bedil-bedilan atau perang
dengan menggunakan senjata, tetapi di zaman kekinian penjajahan itu sangat
terasa pada aspek kebutuhan dan keinginan manusia secara lahiriah dalam
kehidupan. Naluri selalu merasa tidak cukup (menginginkan sesuatu yang lebih)
menjadi kodrat kebanyakan orang yang hidup di tengah situasi arus globalisasi
dan teknologi yang semakin deras.
Manusia
di era kekinian banyak terperdaya oleh perilaku hedonisme yang semakin di luar
batas. Dengan dalih trend masa kini mereka beranggapan bahwa kita harus
mengikuti apa yang sementara ramai digandrungi atau dipakai oleh orang-orang
(meski bukan prioritas mereka). Tanpa sadar, mereka mencoba untuk memaksakan
kehendak demi untuk memuaskan hasrat diri sendiri supaya bisa terterima pada
lingkungan pergaulan mereka.
Tanpa
sadar mereka mulai merasakan kebimbangan. Perilaku hidup mewah yang mulai
mereka ikuti dari orang-orang di luar sana mulai menggerogoti suasana batin dan
pikiran mereka. Di satu sisi jika nafsu kemewahan tidak diikuti maka kekecewaan
akan menyelimuti mereka. Karena mungkin saja dengan itu mereka merasa tidak
percaya diri atau bahkan bisa mendapatkan komentar yang kurang disukai dari
teman-teman mereka.
Kondisi
hedonisme yang tidak dapat dibendung bisa menyebabkan tekanan psikologis.
Kesukaran dalam memenuhi keinginan diri (hidup mewah) menjadi suatu bentuk
penjajahan di era modern. Keterbatasan pendapatan (financial yang tidak
mencukupi) menjadi jalan orang-orang melakukan hal-hal yang negatif seperti korupsi (mencuri), menipu atau
menjilat kekuasaan dengan tujuan hanya untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya.
Mereka sudah teradiksi dengan perilaku hedonisme sehingga diri mereka merasa
terjajah oleh kondisi ekonomi dan sosial (realitas hidup).
Keadaan
seperti yang penulis ungkapkan di atas banyak dirasakan oleh anak-anak
muda/remaja (generasi millennial atau generasi Z). Generasi sekarang ini mulai
sulit untuk bisa keluar dari zona kenyamanannya. Mereka terkoptasi dengan
fasilitas yang ada sekarang. Mereka tidak punya semangat juang yang
menyala-nyala. Tidak mau mengeluarkan effort lebih dalam berusaha (sukar untuk
bersusah-payah). Sehingganya banyak dari mereka yang sulit untuk survive
(bertahan) dari kesusahan yang dialaminya. Tidak ada keterhandalan yang bisa
dipakai dari mereka. Semuanya sekedar berharap bantuan dari kenalan atau orang
gorontalo bilang orang dalam.
Sulit
untuk beradaptasi menjadi keterhambatan mereka untuk maju. Jika kita mengamati
realitas mahasiswa sekarang (penulis mengamati kondisi mahasiswa yang ada di
Kota Gorontalo), cukup sedikit mereka yang bisa survive dengan keadaan dirinya.
Adanya inisiatif untuk maju dan belajar menjadi pangkal untuk mereka bisa
berprestasi dan beruntung (dalam banyak aspek). Kebanyakan dari mereka malah
tergerus dengan puji-pujian yang sama sekali tidak membawa keuntungan bagi diri
mereka. Mereka hanya memperlihatkan eksistensi tanpa ada kontribusi yang
aktual.
Mereka
terjebak dalam hiruk-pikuk kegengsian. Realita yang sama sekali tidak dapat
mengantarkan mereka untuk mejadi orang yang terampil dan handal. Mereka tidak
punya inisiatif dalam belajar. Kemerdekaan hidup yang hakiki belum mereka
rasakan. Terperdaya dan terhimpit antara melakukan yang benar tapi direndahkan
oleh orang lain atau malah melakukan hal yang salah untuk mendapatkan
sanjungan.
Itulah
realita yang terjadi sekarang. Kenyataan yang harus dihadapi hari ini. Mereka
belum memiliki nilai jual. Integritas sebagai manusia belum muncul pada diri
mereka. Manusia mulai bersifat asosial. Kenyataan itu harus diterima sebagai
dampak dari kemerosotan kita dalam menjaga nilai-nilai luhur yang diwarisi oleh
orang tua kita. Nampaknya terdapat kegagalan dalam merawat budaya bangsa
Indonesia yang baik ini. Transformasi zaman menyebabkan watak anak muda
terdegradasi (tidak seperti orang tua dulu yang bisa survive dengan kondisi
apapun).
Untuk
mengatasi hal tersebut. Rupanya tidak salah jika kita belajar dan memaknai
segala sesuatu yang ada di zaman dahulu. Lihat perjuangan orang tua kita dalam
bertahan hidup di tengah terhimpitnya kondisi ekonomi yang ada pada saat itu.
Lihat perjuangan orang tua kita dulu dalam menuntut ilmu (menempuh pendidikan).
Orang-orang besar lahir bukan dengan cara yang instant. Ada banyak yang
dikorbankan untuk bisa meraih segala hal yang dibutuhkan oleh mereka. Untuk
kesuksesan sendiri, penulis merasa bahwa itu adalah gabungan dari ikhtiar yang
luar biasa dan doa yang konsisten dipanjatkan.
Penjajahan
bukan hanya bisa dikalahkan oleh tenaga (fisik), tetapi juga harus memiliki
pengetahuan. Ilmu pengetahuan menjadi jalan untuk kita bisa keluar dari bentuk
penjajahan ultra modern seperti saat ini. Belajar adalah suatu proses dalam
mencapai ilmu pengetahuan yang luhur. Dengan berpengetahuan manusia bisa melakukan
sesuatu yang terbaik untuk kemaslahatan diri dan orang banyak.
Bisa
jadi juga dengan berpengetahuan manusia bisa menjadi penguasa. Dengan power
yang dimilikinya, dia bisa merubah suatu keadaan (sistem) dari yang buruk aau
lemah menjadi baik atau kuat. Dengan kekuasaan, manusia dapat memilki otoritas.
Apabila seseorang memiliki keimanan yang kokoh pada Tuhan-nya, juga memiliki
pengetahuan yang memadai dalam mengatasi masalah. Pasti segala bentuk keputusan
akan bernilai kebaikan. Tetapi jika hal yang demikian tadi tidak dimiliki oleh
seorang pemimpin, niscaya keburukan yang akan terjadi pada apa yang dilakukannya.
Dengan
demikian, belajar menjadi hal yang paling penting dalam meraih kemerdekaan
modern. Belajar untuk hidup sederhana, belajar untuk beradaptasi dalam melalui
tekanan hidup yang tiada hentinya, serta belajar untuk bisa menjadi pembawa
kemaslahatan bagi orang-oran yang ada di sekitar. Kemerdekaan adalah hal pokok
yang senantiasa diperjuangkan oleh semua orang. Pertanyannya adalah apakah diri
kita sudah merasa merdeka saat ini?. Jika belum maka belajarlah.
Penulis adalah Anggota Peneliti
PuSAR Indonesia dan Ketua FKMM Gorontalo.