Saat ini kita
berada pada era polarisasi yang tidak sehat. Kerr
menjelaskan bahwa polarisasi adalah kecenderungan ke arah posisi yang
ekstrim. Polarisasi adalah proses, perbuatan, kecenderungan pembagian atas dua
bagian yang berlawanan dan ekstrim. Pergeseran yang penuh resiko adalah suatu
gejala pergeseran pilihan yang mengundang polarisasi kelompok. Polarisasi kelompok adalah kecenderungan atau gejala
kelompok yang menyebabkan orang mengubah keputusan mereka, baik ke arah yang
lebih teliti atau lebih mengandung resiko. Ketika orang merasa nyaman dalam
satu kelompok, menyebabkan dia terlena dan terkadang salah mengambil keputusan
secara totalitas atas nama kepentingan orang banyak. Mengapa hal itu terjadi?
Jawabannya adalah polarisasi. Polarisasi
biasanya terjadi karena faktor empati yang keliru.
Dalam
konteks Indonesia polarisasi sepertinya sudah nampak ketika bangsa ini berada
pada masa kolonialis-imprealis, dimana penduduk sering diperhadap-hadapkan oleh
Belanda, Portugis, Inggris, Spanyol yang memiliki misi menguasai sumber daya
alam Indonesia sementara rakyat dikondisikan saling membenci satu sama lain.
Kemudian
polarisasi yang terjadi pada zaman Kebangkitan Nasional ditandai dengan lahirnya
berbagai macam organisasi politik maupun non politik yang bertujuan untuk
mengusir penjajah dengan cara siasat pengetahuan, hanya saja ditubuh organisasi
tersebut terjadi polarisasi yang tidak sehat, sebut saja perpecahan ditubuh organisasi
Serekat Islam (SI) yang melahirkan SI Merah dan SI Putih. Kemudian polarisasi
di zaman penjajahan Jepang dengan munculnya berbagai macam lembaga taktis untuk
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia seperti Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI).
Pada masa
BPUPKI dan PPKI selain perbedaan pendapat tentang rumusan pancasila yang
dimainkan baik oleh Mr. Moh Yamin, Supomo dan Soekarno, namun Polarisasi yang
implikasinya berkepanjangan dan sampai saat ini dirasakan adalah kesepahaman tentang
ideologi negara yaitu pancasila. Namun, satu hal yang bisa kita pelajari dari
para tokoh sebelumnya, baik pada zaman kerajaan sampai pada masa penjajahan
Jepang adalah konsensus mereka melahirkan Indonesia menjadi negara berdaulat
dan merdeka baik secara de facto maupun de jure pada tanggal 17 Agustus 1945.
Ketika zaman
Orde Lama polarisasi masih juga nampak, sebut saja setelah pemilu tahun 1955
yang disebut pemilu teraman, terdemokratis yang melahirkan PNI sebagai pemenang
pertama disusul oleh Masyumi, kemudian NU, PKI dan PSII. Memang pemilu pada
tahun 1955 adalah yang teraman, akan tetapi pasca pemilu dimana pada masa
pemerintahan Soekarno mulai lagi diperhadapkan pada polarisasi yang tidak sehat.
Sebut saja tuduhan dari berbagai kalangan yang menganggap bahwa Soekarno
melindungi komunis dan merawat komunis dan berbagai macam permasalahan lain
yang mengikutinya seperti krisis ekonomi, dan keamanan negara dalam keadaan
menghawatirkan. Akibatnya rezim Orde Lama berakhir dan digantikan oleh rezim Orde
Baru.
Rezim Orde
Baru sepertinya tidak mau belajar tentang polarisasi yang terjadi sebelumnya.
Walaupun di zaman Orde Baru stabilitas politik terjamin dengan cara meleburkan
partai politik menjadi 3 partai besar, kondisi keamanan negara terkesan baik,
hanya saja rezim Orde Baru tidak mampu membendung krisis ekonomi yang
menyebabkan rupiah anjlok sampai pada angka 1 US dolar @ RP 16.000-17.000 dan
tidak mampu membendung permasalahan yang melilit bangsa seperti Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN), ditambah lagi hilangnya kepercayaan masyarakat
terhadap rezim Orde Baru. Kekecewaan rakyat termanifestasikan lewat gerakan
parlemen jalanan (demonstrasi) yang berkepanjangan dan gawat sehingga
menyebabkan Soeharto mundur dari kursi
presiden dan berakhirlah rezim Orde Baru.
Ketika zaman
reformasi nampaknya polarisasi masih saja terjadi sebut saja perbedaan pendapat
dikalangan para tokoh reformis tentang pengganti Soeharto, ada yang menghendaki
Habibie, namun tidak sedikit pula yang menghendaki Megawati sebagai presiden
pengganti Soeharto.
Sisi lain
yang bisa dipelajari dari peristiwa sebelumnya, baik dari zaman Orde Lama sampai
pada Reformasi menurut berbagai kalangan bahwa peristiwa besar tersebut tidak
bisa pula dipisahkan dari kondisi geopolitik dan geostrategi dunia lewat interfensi
dan manipulasi para intelejen dunia,
seperti intelejen Blok Timur (Uni Soviet dan sekutunya) dan intelejen Blok
Barat (Amerika dan sekutunya). Kepentingan intelejen tersebut memastikan bahwa
Indonesia masih bisa dipengaruhi dan tunduk pada kekuatan negara-negara
adikuasa tersebut.
Terlepas
dari semua polarisasi dan peristiwa sebelumnya, apapun alasannya jika tidak
memaknai secara utuh kerangka kerja polarisasi maka implikasinya tidak baik
bagi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Maksudnya, jika polarisasi
dikaji dalam perspektif antropologis
sesungguhnya polarisasi adalah suatu keniscayaan. Sebab, polarisasi jika dikaitkan
dengan entitas dan suku sesungguhnya itulah sesuatu yang wajar. Merawat
entitas, suku, ras, dan kemajemukan agama merupakan bentuk pengelolaan makna
polarisasi yang dinginkan. Ketika kita berbicara pelestarian kebudayaan sebagai
identitas dan aset positif bagi bangsa, sesungguhnya kita telah merawat
polarisasi yang positif. Hanya saja jika polarisasi selalu dikaitkan dengan
kepentingan politik, maka disitu butuh kehati-hatian. Sebab, arena politik
apalagi politik praktis adalah arena kekuasaan dan arena inilah kadang orang
diuji sejauh mana konsistensi dia merawat makna polarisasi yang baik. Dalam hal
kekuasaan, biasanya orang terjebak pada makna polarisasi yang sempit.
Saat ini
orang memainkan polarisasi selalu beririsan dengan politik kekuasaan yang tidak
sehat seperti politik identitas, politik dendam kusumat, dan politik aliran
yang berujung pada retaknya hubungan baik sebagai sebuah bangsa. Memanfaatkan
kelompok satu sama lain atas nama kepentingan bangsa, tetapi kepentingan bangsa
yang dimaksudkan adalah kepentingan dalam terjemahan kelompok tertentu.
Kemudian jika muncul kelompok lain maka kelompok itu disebut sebagai kelompok yang tidak pas membawa
slogan kepentingan bangsa. Kedepannya kita berharap semoga polarisasi yang
tidak sehat ini segera disudahi. Apalagi kita baru melaksanakan hajatan
demokrasi akbar yakni Pilpres dan Pileg tahun 2019.
Marilah
bergandeng tangan untuk membangun bangsa ini. Tinggalkan segala kemelut yang
ada karena bangsa ini membutuhkan kolektifitas warganya. Jangan mudah terhasut
oleh kepentingan kelompok tertentu. Jangan bicara memperbaiki bangsa sementara
masih bergelut dengan urusan politik-identitas-aliran, politik dendam kusumat
dan politik telat move on (telat melupakan kenangan buruk). Sebab salah satu
persoalan bangsa ini khususnya dalam konteks politik bukan hanya permasalahan di
partai politik, bukan pula permasalahan menang dan kalah dalam setiap proses
demokrasi, tapi yang sangat krusial adalah politik yang telat move on bahkan
tidak pernah move on sehingga kebencian serta dendam selalu terproduksi dan
terdistribusi secara masif. Akibatnya cita-cita bangsa ini akan terganggu.
Kita berada
dalam dua pilihan, yakni membiarkan polarisasi yang tidak sehat ini tapi
berimplikasi negatif pada generasi yang akan datang, atau memperbaiki sikap dan
tindakan agar mewariskan polarisasi yang positif kepada generasi mendatang.
Sebab, apa yang dinikmati sekarang adalah buah dari perilaku terdahulu, dan bagaimana
keadaan di masa yang akan datang sangat tergantung pada perilaku dan tindakan yang
kita semaikan pada hari ini, dan biasanya konflik maupun peperangan berskala
besar terjadi karena faktor sempitnya pemahaman polarisasi. Semoga bermanfaat.
Penulis : Rasyid Yunus