Polarisasi

Iklan Semua Halaman

Iklan

Polarisasi

FKMM Gorontalo
Jumat, 06 Maret 2020


Saat ini kita berada pada era polarisasi yang tidak sehat. Kerr menjelaskan bahwa polarisasi  adalah kecenderungan ke arah posisi yang ekstrim. Polarisasi adalah proses, perbuatan, kecenderungan pembagian atas dua bagian yang berlawanan dan ekstrim. Pergeseran yang penuh resiko adalah suatu gejala pergeseran pilihan yang mengundang polarisasi kelompok. Polarisasi kelompok adalah kecenderungan atau gejala kelompok yang menyebabkan orang mengubah keputusan mereka, baik ke arah yang lebih teliti atau lebih mengandung resiko. Ketika orang merasa nyaman dalam satu kelompok, menyebabkan dia terlena dan terkadang salah mengambil keputusan secara totalitas atas nama kepentingan orang banyak. Mengapa hal itu terjadi? Jawabannya adalah  polarisasi. Polarisasi biasanya terjadi karena faktor empati yang keliru.

Dalam konteks Indonesia polarisasi sepertinya sudah nampak ketika bangsa ini berada pada masa kolonialis-imprealis, dimana penduduk sering diperhadap-hadapkan oleh Belanda, Portugis, Inggris, Spanyol yang memiliki misi menguasai sumber daya alam Indonesia sementara rakyat dikondisikan saling membenci satu sama lain.

Kemudian polarisasi yang terjadi pada zaman Kebangkitan Nasional ditandai dengan lahirnya berbagai macam organisasi politik maupun non politik yang bertujuan untuk mengusir penjajah dengan cara siasat pengetahuan, hanya saja ditubuh organisasi tersebut terjadi polarisasi yang tidak sehat, sebut saja perpecahan ditubuh organisasi Serekat Islam (SI) yang melahirkan SI Merah dan SI Putih. Kemudian polarisasi di zaman penjajahan Jepang dengan munculnya berbagai macam lembaga taktis untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia seperti Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Pada masa BPUPKI dan PPKI selain perbedaan pendapat tentang rumusan pancasila yang dimainkan baik oleh Mr. Moh Yamin, Supomo dan Soekarno, namun Polarisasi yang implikasinya berkepanjangan dan sampai saat ini dirasakan adalah kesepahaman tentang ideologi negara yaitu pancasila. Namun, satu hal yang bisa kita pelajari dari para tokoh sebelumnya, baik pada zaman kerajaan sampai pada masa penjajahan Jepang adalah konsensus mereka melahirkan Indonesia menjadi negara berdaulat dan merdeka baik secara de facto maupun de jure pada tanggal 17 Agustus 1945.

Ketika zaman Orde Lama polarisasi masih juga nampak, sebut saja setelah pemilu tahun 1955 yang disebut pemilu teraman, terdemokratis yang melahirkan PNI sebagai pemenang pertama disusul oleh Masyumi, kemudian NU, PKI dan PSII. Memang pemilu pada tahun 1955 adalah yang teraman, akan tetapi pasca pemilu dimana pada masa pemerintahan Soekarno mulai lagi diperhadapkan pada polarisasi yang tidak sehat. Sebut saja tuduhan dari berbagai kalangan yang menganggap bahwa Soekarno melindungi komunis dan merawat komunis dan berbagai macam permasalahan lain yang mengikutinya seperti krisis ekonomi, dan keamanan negara dalam keadaan menghawatirkan. Akibatnya rezim Orde Lama berakhir dan digantikan oleh rezim Orde Baru.

Rezim Orde Baru sepertinya tidak mau belajar tentang polarisasi yang terjadi sebelumnya. Walaupun di zaman Orde Baru stabilitas politik terjamin dengan cara meleburkan partai politik menjadi 3 partai besar, kondisi keamanan negara terkesan baik, hanya saja rezim Orde Baru tidak mampu membendung krisis ekonomi yang menyebabkan rupiah anjlok sampai pada angka 1 US dolar @ RP 16.000-17.000 dan tidak mampu membendung permasalahan yang melilit bangsa seperti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), ditambah lagi hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap rezim Orde Baru. Kekecewaan rakyat termanifestasikan lewat gerakan parlemen jalanan (demonstrasi) yang berkepanjangan dan gawat sehingga menyebabkan  Soeharto mundur dari kursi presiden dan berakhirlah rezim Orde Baru.

Ketika zaman reformasi nampaknya polarisasi masih saja terjadi sebut saja perbedaan pendapat dikalangan para tokoh reformis tentang pengganti Soeharto, ada yang menghendaki Habibie, namun tidak sedikit pula yang menghendaki Megawati sebagai presiden pengganti Soeharto.

Sisi lain yang bisa dipelajari dari peristiwa sebelumnya, baik dari zaman Orde Lama sampai pada Reformasi menurut berbagai kalangan bahwa peristiwa besar tersebut tidak bisa pula dipisahkan dari kondisi geopolitik dan geostrategi dunia lewat interfensi dan manipulasi  para intelejen dunia, seperti intelejen Blok Timur (Uni Soviet dan sekutunya) dan intelejen Blok Barat (Amerika dan sekutunya). Kepentingan intelejen tersebut memastikan bahwa Indonesia masih bisa dipengaruhi dan tunduk pada kekuatan negara-negara adikuasa tersebut.

Terlepas dari semua polarisasi dan peristiwa sebelumnya, apapun alasannya jika tidak memaknai secara utuh kerangka kerja polarisasi maka implikasinya tidak baik bagi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Maksudnya, jika polarisasi dikaji dalam perspektif  antropologis sesungguhnya polarisasi adalah suatu keniscayaan. Sebab, polarisasi jika dikaitkan dengan entitas dan suku sesungguhnya itulah sesuatu yang wajar. Merawat entitas, suku, ras, dan kemajemukan agama merupakan bentuk pengelolaan makna polarisasi yang dinginkan. Ketika kita berbicara pelestarian kebudayaan sebagai identitas dan aset positif bagi bangsa, sesungguhnya kita telah merawat polarisasi yang positif. Hanya saja jika polarisasi selalu dikaitkan dengan kepentingan politik, maka disitu butuh kehati-hatian. Sebab, arena politik apalagi politik praktis adalah arena kekuasaan dan arena inilah kadang orang diuji sejauh mana konsistensi dia merawat makna polarisasi yang baik. Dalam hal kekuasaan, biasanya orang terjebak pada makna polarisasi yang sempit.

Saat ini orang memainkan polarisasi selalu beririsan dengan politik kekuasaan yang tidak sehat seperti politik identitas, politik dendam kusumat, dan politik aliran yang berujung pada retaknya hubungan baik sebagai sebuah bangsa. Memanfaatkan kelompok satu sama lain atas nama kepentingan bangsa, tetapi kepentingan bangsa yang dimaksudkan adalah kepentingan dalam terjemahan kelompok tertentu. Kemudian jika muncul kelompok lain maka kelompok  itu disebut sebagai kelompok yang tidak pas membawa slogan kepentingan bangsa. Kedepannya kita berharap semoga polarisasi yang tidak sehat ini segera disudahi. Apalagi kita baru melaksanakan hajatan demokrasi akbar yakni Pilpres dan Pileg tahun 2019.

Marilah bergandeng tangan untuk membangun bangsa ini. Tinggalkan segala kemelut yang ada karena bangsa ini membutuhkan kolektifitas warganya. Jangan mudah terhasut oleh kepentingan kelompok tertentu. Jangan bicara memperbaiki bangsa sementara masih bergelut dengan urusan politik-identitas-aliran, politik dendam kusumat dan politik telat move on (telat melupakan kenangan buruk). Sebab salah satu persoalan bangsa ini khususnya dalam konteks politik bukan hanya permasalahan di partai politik, bukan pula permasalahan menang dan kalah dalam setiap proses demokrasi, tapi yang sangat krusial adalah politik yang telat move on bahkan tidak pernah move on sehingga kebencian serta dendam selalu terproduksi dan terdistribusi secara masif. Akibatnya cita-cita bangsa ini akan terganggu.

Kita berada dalam dua pilihan, yakni membiarkan polarisasi yang tidak sehat ini tapi berimplikasi negatif pada generasi yang akan datang, atau memperbaiki sikap dan tindakan agar mewariskan polarisasi yang positif kepada generasi mendatang. Sebab, apa yang dinikmati sekarang adalah buah dari perilaku terdahulu, dan bagaimana keadaan di masa yang akan datang sangat tergantung pada perilaku dan tindakan yang kita semaikan pada hari ini, dan biasanya konflik maupun peperangan berskala besar terjadi karena faktor sempitnya pemahaman polarisasi.  Semoga bermanfaat.




Penulis : Rasyid Yunus