Freedom Of Speech dan Ketersinggungan

Iklan Semua Halaman

Iklan

Freedom Of Speech dan Ketersinggungan

FKMM Gorontalo
Kamis, 11 Juni 2020

Freedom Of Speech dan Ketersinggungan

 
Penulis : Achmad Husein Hasni
Demokrasi mengajarkan kita pada suatu hal yang menjadikan seluruh manusia memiliki kesamaan akan  kedudukan secara normatif dalam  masyarakat. Perilaku dan perangai dalam  mewujudkan kesamarataan menjadi hal yang fundamental bagi warga masyarakat di zaman sekarang, terlebih hal ini terjadi karena peran dan kedudukan manusia yang begitu krusial untuk menjadikan pembangunan ekosistem sosial kemasyarakatan menjadi suatu tataran berkehidupan yang bermutu dan bermoral. Nilai justifikasi dalam berdemokrasi menjadi perjuangan yang begitu hegemonic untuk menyusun kerangka system berkehidupan yang majemuk, maka dari itu bagi sekelompok orang merasa perlu untuk mensejajarkan segala bentuk perbedaan menjadi pola pembangunan peradaban dalam rangka mencapai kemerdekaan berkehidupan yang hakiki.
Dalam memahami suatu realitas system  politik yang ada, jelas hal ini bermula dari suatu konsep yang menjadi sumber perwujudan dari system politik yang dibangun. Tentu dalam hal ini konsep bangsa menjadi sesuatu yang mengawali dalam perwujudan demokrasi yang menjadi pembahasan menarik di awal. Menarik jika kita menyoroti terkait dengan konsep dari bangsa sebagai komunitas politik, menurut Bennedict Anderson (1983) menggambarkan bahwa bangsa modern sebagai sebuah artefak, yang disebut sebagai “komunitas khayal”. Anderson menunjukkan bahwa bangsa-bangsa eksis, lebih sebagai gambaran-gambaran mental daripada sebagai komunitas-komunitas yang murni, yang membutuhkan tingkat interaksi langsung antara anggota yang dapat menyangga pengertian tentang sebuah identitas bersama. Di dalam bangsa-bangsa, individu-individu  hanya bertemu dalam proporsi yang sangat kecil dengan mereka, yang mereka anggap sebagai saudara sebangsa. Jika bangsa-bangsa eksis, mereka eksis sebagai entitas-entitas khayal, yang dibangun dalam pikiran kita melalui pendidikan, media massa dan sebuah proses sosialisasi politik. Terlepas apakah bangsa-bangsa tumbuh dari sebuah hasrat kemerdekaan dan demokrasi, atau sekedar rancangan-rancangan dari para elit politik atau dari kelas yang berkuasa, bangsa-bangsa tertentu memilki sebuah karakter politik yang jelas. Menurut Meinecke, bangsa-bangsa ini dapat digolongkan sebagai bangsa politik. Bangsa politik adalah bangsa dimana kewarganegaraan memiliki pengaruh politik yang lebih besar daripada identitas etnis, bukan tidak umum, bangsa politik memuat sejumlah kelompok etnis, dan karenanya ditandai oleh heterogenitas kebudayaan (Andrew Heywood, 2014).
Setelah memahami konteks berbangsa sebagai komunitas politik. Sepantasnya warga negara sebagai suatu komunitas sosial berskala besar, jelas memiliki keinginan untuk dapat mewujudkan suatu ciri ideal dalam bernegara. Konteks demokrasi misalnya yang selalu menjadi sorotan, ketidakjelasan aturan yang selalu dikritisi oleh kelompok masyarakat menjadi cerminan perbedaan konsepsi nilai demokrasi antara masyarakat dan regulator kebijakan dalam hal ini negara. Jika menelisik lebih jauh terkait dengan konsep pokok demokrasi. Salah satu filosof Yunani kuno yaitu Aristoteles (384-322 SM) berkeyakinan bahwa demokrasi adalah supremasi kumpulan masyarakat luas, termasuk diantaranya orang-orang miskin. Ciri pokok konsep demokrasi klasik adalah yang menyangkut tiga nilai, yaitu persamaan (equality), kebebasan (freedom), penguasaan mayoritas masyarakat (majority ruled). Persamaan karena walaupun tidak punya materi atau harta banyak, akan tetapi ia tetap punya hak yang dirumuskan dalam persamaan hak tersebut. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan karena semua manusia pada prinsipnya dilahirkan bebas, termasuk dalam kebebasan perkataan (freedom of speech). Sedangkan penguasaan mayoritas masyarakat terjadi karena keputusan mayoritas berdasarkan jumlah dan solidaritas dari anggota-anggota masyarakat tersebut menjadi kunci kekuatan mereka.
Pada masa kekinian, penerapan  nilai atau ciri pokok demokrasi oleh suatu bangsa nampaknya menjadi suatu hal yang sangat berlawanan untuk membentuk dan membangun suatu identitas masyarakat yang terlahir dengan heterogenitas tinggi. Jika menelaah terkait konsep kebebasan yang dikemukakan oleh Aristoteles di atas, freedom of speech pada masa ini menjadi hal yang begitu lemah pada aspek pengaplikasiannya. Nilai etika yang menjadi dasar pijakan dalam memainkan proses interaksi sosial menjadi pelindung yang sering digunakan dalam melawan orang-orang yang memberikan kritik dan pikiran kepada orang lain dan pemerintah. Problem masyarakat Indonesia saat ini menjadi begitu besar dan rumit untuk diselesaikan. Tingkat atau kualitas edukasi masyarakat yang rendah dalam seluruh aspek berkehidupan pada era modern saat ini menjadi tantangan terberat oleh seluruh lapisan masyarakat dalam mengembangkan karakter sosial masyrakat yang bisa mencerminkan identitas bangsa yang sesungguhnya, dimana bangsa modern dengan seluruh kecanggihan pengetahuan yang dimilikinya menjadi sarana pembangunan peradaban yang dapat menguntungkan negara mereka sendiri.
Freedom of speech atau kebebasan berpendapat selalu menimbulkan ketersinggungan yang seakan-akan menjadi hal yang harus dipertanggungjawabkan oleh orang ang menyampaikan pikirannya. Seakan individu yang ada di masyarakat harus terbebani oleh perasaan orang lain yang tentu dalam aspek kebudayaan dan kebiasaan menjadi sesuatu yang berbeda untuk menyampaikan maksud pikiran dan hati dari sesorang ke orang lain. Ketersinggungan adalah suatu pilihan yang diambil oleh orang lain ketika ia menerima informasi atau pesan dari seseorang yang membahas tantang apa yang ada dan bersama diri orang tersebut. Sehingganya batasan ketersinggungan menjadi sesuatu hal yang sifatnya subyektif untuk dinilai pada ruang-ruang diskusi dan sosial justice.
Ketersinggungan pada era digitalisasi dan informasi juga semakin merajalela dengan hadirnya sosial media yang memberikan ruang seluas-luasnya kepada seluruh orang dalam menilai dan berpendapat pada aksi, karya dan potret seseorang dalam dunia maya. Terkadang untuk tidak mendapatkan citra yang buruk dari para pengguna media sosial, seseorang bisa berpikir lebih dan mempertimbangkan banyak hal dalam memposting sesuatu di media sosial yang ia miliki. Hal ini dilakukan agar postingan yang dipublish tidak mendapatkan komentar negative dari orang lain dan sebaliknya justru akan mendapatkan like atau komentar yang positif bahkan followers yang akan  semakin bertambah, sehingga pada kesimpulannya media sosial dapat mempengaruhi factor psikologis seseorang untuk dapat memanfaatkan platform yang ada itu dengan tujuan tertentu.
Begitupun dengan hukum, dewasa kini kita melihat berbagai undang-undang dan rancangan undang-undang yang dinilai dapat menutup keran freedom of speech masyarakat dalam menyampikan aspirasi. UU ITE menjadi bukti akan kesemrawutan hukum dan makna berdemokrasi yang sesungguhnya. Tidak lupa pula dengan UU tentang Body Shaming, semua undang-undang yang dibuat tentang perlindungan ketersinggungan menjadi pertanyaan besar di tengah-tengah masyarakat, sebenarnya konteks demokrasi yang benar itu seperti apa? Dan apakah penting suatu negara mengurusi perasaaan seseorang?. Jawaban ini tentu akan berbeda-beda, karena sejatinya masalah kebenaran sosial tidak ada yang bersifat mutlak. Hukum dan konsep sosial bernegara kita dibangun atas dasar prinsip-prinsip moral dan etika. Sudah tentu penguasa pada era post modern  seperti saat ini harus memberikan ruang dalam hal pendistribusian pemahaman terkait konteks karakter berwarganegara yang sesungguhnya dan literasi terhadap sosial multikultural harus juga ditingkatkan agar dapat menciptakan suatu ekosistem berkehidupan sosial yang berkualitas.
Penulis adalah Mahasiswa Prodi PPKn FIS UNG & Aktivis Forum Komunikasi Mahasiswa Muslim Gorontalo.