Freedom Of Speech dan Ketersinggungan
Penulis : Achmad Husein Hasni
Demokrasi
mengajarkan kita pada suatu hal yang menjadikan seluruh manusia memiliki
kesamaan akan kedudukan secara normatif
dalam masyarakat. Perilaku dan perangai
dalam mewujudkan kesamarataan menjadi
hal yang fundamental bagi warga masyarakat di zaman sekarang, terlebih hal ini
terjadi karena peran dan kedudukan manusia yang begitu krusial untuk menjadikan
pembangunan ekosistem sosial kemasyarakatan menjadi suatu tataran berkehidupan
yang bermutu dan bermoral. Nilai justifikasi dalam berdemokrasi menjadi
perjuangan yang begitu hegemonic untuk menyusun kerangka system berkehidupan
yang majemuk, maka dari itu bagi sekelompok orang merasa perlu untuk
mensejajarkan segala bentuk perbedaan menjadi pola pembangunan peradaban dalam
rangka mencapai kemerdekaan berkehidupan yang hakiki.
Dalam
memahami suatu realitas system politik
yang ada, jelas hal ini bermula dari suatu konsep yang menjadi sumber
perwujudan dari system politik yang dibangun. Tentu dalam hal ini konsep bangsa
menjadi sesuatu yang mengawali dalam perwujudan demokrasi yang menjadi
pembahasan menarik di awal. Menarik jika kita menyoroti terkait dengan konsep
dari bangsa sebagai komunitas politik, menurut Bennedict Anderson (1983)
menggambarkan bahwa bangsa modern sebagai sebuah artefak, yang disebut sebagai
“komunitas khayal”. Anderson menunjukkan bahwa bangsa-bangsa eksis, lebih
sebagai gambaran-gambaran mental daripada sebagai komunitas-komunitas yang
murni, yang membutuhkan tingkat interaksi langsung antara anggota yang dapat
menyangga pengertian tentang sebuah identitas bersama. Di dalam bangsa-bangsa,
individu-individu hanya bertemu dalam
proporsi yang sangat kecil dengan mereka, yang mereka anggap sebagai saudara
sebangsa. Jika bangsa-bangsa eksis, mereka eksis sebagai entitas-entitas
khayal, yang dibangun dalam pikiran kita melalui pendidikan, media massa dan
sebuah proses sosialisasi politik. Terlepas apakah bangsa-bangsa tumbuh dari
sebuah hasrat kemerdekaan dan demokrasi, atau sekedar rancangan-rancangan dari
para elit politik atau dari kelas yang berkuasa, bangsa-bangsa tertentu memilki
sebuah karakter politik yang jelas. Menurut Meinecke, bangsa-bangsa ini dapat
digolongkan sebagai bangsa politik. Bangsa politik adalah bangsa dimana
kewarganegaraan memiliki pengaruh politik yang lebih besar daripada identitas
etnis, bukan tidak umum, bangsa politik memuat sejumlah kelompok etnis, dan
karenanya ditandai oleh heterogenitas kebudayaan (Andrew Heywood, 2014).
Setelah
memahami konteks berbangsa sebagai komunitas politik. Sepantasnya warga negara
sebagai suatu komunitas sosial berskala besar, jelas memiliki keinginan untuk
dapat mewujudkan suatu ciri ideal dalam bernegara. Konteks demokrasi misalnya
yang selalu menjadi sorotan, ketidakjelasan aturan yang selalu dikritisi oleh
kelompok masyarakat menjadi cerminan perbedaan konsepsi nilai demokrasi antara
masyarakat dan regulator kebijakan dalam hal ini negara. Jika menelisik lebih
jauh terkait dengan konsep pokok demokrasi. Salah satu filosof Yunani kuno
yaitu Aristoteles (384-322 SM) berkeyakinan bahwa demokrasi adalah supremasi
kumpulan masyarakat luas, termasuk diantaranya orang-orang miskin. Ciri pokok
konsep demokrasi klasik adalah yang menyangkut tiga nilai, yaitu persamaan (equality), kebebasan (freedom), penguasaan mayoritas
masyarakat (majority ruled).
Persamaan karena walaupun tidak punya materi atau harta banyak, akan tetapi ia
tetap punya hak yang dirumuskan dalam persamaan hak tersebut. Kebebasan yang
dimaksud adalah kebebasan karena semua manusia pada prinsipnya dilahirkan
bebas, termasuk dalam kebebasan perkataan (freedom
of speech). Sedangkan penguasaan mayoritas masyarakat terjadi karena
keputusan mayoritas berdasarkan jumlah dan solidaritas dari anggota-anggota masyarakat
tersebut menjadi kunci kekuatan mereka.
Pada
masa kekinian, penerapan nilai atau ciri
pokok demokrasi oleh suatu bangsa nampaknya menjadi suatu hal yang sangat
berlawanan untuk membentuk dan membangun suatu identitas masyarakat yang
terlahir dengan heterogenitas tinggi. Jika menelaah terkait konsep kebebasan
yang dikemukakan oleh Aristoteles di atas, freedom of speech pada masa ini
menjadi hal yang begitu lemah pada aspek pengaplikasiannya. Nilai etika yang
menjadi dasar pijakan dalam memainkan proses interaksi sosial menjadi pelindung
yang sering digunakan dalam melawan orang-orang yang memberikan kritik dan
pikiran kepada orang lain dan pemerintah. Problem masyarakat Indonesia saat ini
menjadi begitu besar dan rumit untuk diselesaikan. Tingkat atau kualitas
edukasi masyarakat yang rendah dalam seluruh aspek berkehidupan pada era modern
saat ini menjadi tantangan terberat oleh seluruh lapisan masyarakat dalam
mengembangkan karakter sosial masyrakat yang bisa mencerminkan identitas bangsa
yang sesungguhnya, dimana bangsa modern dengan seluruh kecanggihan pengetahuan
yang dimilikinya menjadi sarana pembangunan peradaban yang dapat menguntungkan
negara mereka sendiri.
Freedom
of speech atau kebebasan berpendapat selalu menimbulkan ketersinggungan yang
seakan-akan menjadi hal yang harus dipertanggungjawabkan oleh orang ang
menyampaikan pikirannya. Seakan individu yang ada di masyarakat harus terbebani
oleh perasaan orang lain yang tentu dalam aspek kebudayaan dan kebiasaan
menjadi sesuatu yang berbeda untuk menyampaikan maksud pikiran dan hati dari
sesorang ke orang lain. Ketersinggungan adalah suatu pilihan yang diambil oleh
orang lain ketika ia menerima informasi atau pesan dari seseorang yang membahas
tantang apa yang ada dan bersama diri orang tersebut. Sehingganya batasan
ketersinggungan menjadi sesuatu hal yang sifatnya subyektif untuk dinilai pada
ruang-ruang diskusi dan sosial justice.
Ketersinggungan
pada era digitalisasi dan informasi juga semakin merajalela dengan hadirnya
sosial media yang memberikan ruang seluas-luasnya kepada seluruh orang dalam
menilai dan berpendapat pada aksi, karya dan potret seseorang dalam dunia maya.
Terkadang untuk tidak mendapatkan citra yang buruk dari para pengguna media
sosial, seseorang bisa berpikir lebih dan mempertimbangkan banyak hal dalam
memposting sesuatu di media sosial yang ia miliki. Hal ini dilakukan agar
postingan yang dipublish tidak mendapatkan komentar negative dari orang lain
dan sebaliknya justru akan mendapatkan like atau komentar yang positif bahkan
followers yang akan semakin bertambah,
sehingga pada kesimpulannya media sosial dapat mempengaruhi factor psikologis
seseorang untuk dapat memanfaatkan platform yang ada itu dengan tujuan
tertentu.
Begitupun
dengan hukum, dewasa kini kita melihat berbagai undang-undang dan rancangan
undang-undang yang dinilai dapat menutup keran freedom of speech masyarakat
dalam menyampikan aspirasi. UU ITE menjadi bukti akan kesemrawutan hukum dan
makna berdemokrasi yang sesungguhnya. Tidak lupa pula dengan UU tentang Body
Shaming, semua undang-undang yang dibuat tentang perlindungan ketersinggungan
menjadi pertanyaan besar di tengah-tengah masyarakat, sebenarnya konteks
demokrasi yang benar itu seperti apa? Dan apakah penting suatu negara mengurusi
perasaaan seseorang?. Jawaban ini tentu akan berbeda-beda, karena sejatinya
masalah kebenaran sosial tidak ada yang bersifat mutlak. Hukum dan konsep
sosial bernegara kita dibangun atas dasar prinsip-prinsip moral dan etika.
Sudah tentu penguasa pada era post modern
seperti saat ini harus memberikan ruang dalam hal pendistribusian
pemahaman terkait konteks karakter berwarganegara yang sesungguhnya dan
literasi terhadap sosial multikultural harus juga ditingkatkan agar dapat
menciptakan suatu ekosistem berkehidupan sosial yang berkualitas.
Penulis adalah Mahasiswa Prodi PPKn FIS UNG & Aktivis Forum
Komunikasi Mahasiswa Muslim Gorontalo.